Kian gamblang
saja bahwa pemerintah kurang percaya diri atau bahkan tidak punya nyali untuk
mengambil keputusan tentang penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
Pemerintah terus saja mengulur-ulur waktu, sekaligus mengambangkan kepastian.
Kemarin, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa soal penaikan harga BBM subsidi masih
akan dibicarakan dulu dengan pimpinan parlemen. Karena parlemen sendiri sedang
reses, pertemuan itu baru bisa dilakukan Senin pekan depan (13/5).
Langkah seperti
itu sama sekali tidak perlu. Toh, menurut UU APBN 2013, pemerintah memiliki
kewenangan penuh untuk menaikkan harga BBM subsidi ini. Artinya, pemerintah
tidak perlu berkonsultasi atau apalagi meminta restu parlemen.
Selain itu,
konsultasi dengan parlemen juga terkesan cuma akan memperumit masalah. Selain
tidak relevan, mengonsultasikan ihwal penaikan harga BBM subsidi kepada
parlemen juga tidak produktif. Cuma membuang-buang waktu dan energi. Parlemen
hampir pasti tak akan begitu saja memberi restu. Justru karena diajak
berbicara, parlemen kemungkinan menyodorkan sejumlah prasyarat sebelum pemerintah
mengetukkan palu tentang penaikan harga BBM subsidi ini.
Karena itu, sikap
pemerintah mengoper bola ke parlemen mengenai kebijakan harga BBM subsidi ini
sungguh sulit dipahami. Sikap tersebut malah memepertegas bahwa pemerintah
ragu-ragu, tidak percaya diri, dan tidak punya nyali. Pemerintah paranoid oleh
risiko tidak populer di mata publik.
Padahal risiko
itu tak terhindarkan. Sekarang ataupun baru tahun depan harga BBM subsidi
dinaikkan, risiko tidak populer tetap saja harus dihadapi pemerintah.
Walhasil,
pemerintah sungguh-sungguh tidak beralasan bersikap paranoid kehilangan
popularitas. Lagi pula, siapa bilang mengambangkan terus harga BBM subsidi
seperti sekarang ini membuat popularitas pemerintah jadi lebih moncer?
Menunda-nunda penaikan harga BBM subsidi malah membuat rakyat senewen -- karena
situasi pasar secara keseluruhan menjadi diliputi gejolak dan sarat spekulasi.
Itu berarti, di
mata rakyat, citra pemerintah dalam konteks pengambilan kebijakan tentang harga
BBM subsidi sama sekali tidak elok. Pemerintah terkesankan kelewat banyak omong
tapi miskin keyakinan diri untuk bersikap tegas dan lugas mengambil keputusan
-- notabene justru di saat yang sudah tepat.
Seharusnya,
menjelang akhir masa bakti sekarang ini, pemerintah mengubah
"paradigma" tidak sehat dalam pengambilan keputusan-keputusan
strategis -- sehingga ending pemerintahan pun secara keseluruhan kelak menjadi
elok. Kesan bahwa pemerintah cenderung lelet karena lebih sibuk mematuk-matut
diri, kebanyakan berwacana, serta kurang bernyali harus bisa dipupus di
hari-hari sekarang ini lewat pengambilan kebijakan-kebijakan yang tegas, lugas,
dan trengginas.
Jadi, dalam soal
penaikan harga BBM subsidi, pemerintah jangan takut tidak populer -- karena toh
sekarang ini pun relatif sudah tidak populer. Kesan tersebut justru bisa
menguap lewat pengambilan keputusan yang menunjukkan
sikap percaya
diri tinggi. Terlebih rakyat kebanyakan boleh jadi sudah cukup paham bahwa
penaikan harga BBM subsidi adalah pil pahit yang menyehatkan.
Boleh diyakini
bahwa rakyat kini justru tidak happy karena sudah kelewat lama terombang-ambing
dalam ketidakpastian soal kebijakan harga BBM subsidi ini. Rakyat sangat
berharap keputusan tentang itu tidak serupa sinetron yang cuma berputar-putar
alias tak kunjung mencapai klimaks dan ending.
Maka, lupakan
niat atau keinginan berkonsultasi dengan parlemen. Segera ambil keputusan bahwa
harga BBM subsidi naik. Toh opsi-opsi tentang itu sudah tersedia.***
Jakarta, 7 Mei
2013