07 Mei 2013

Jangan Takut Tak Populer



Kian gamblang saja bahwa pemerintah kurang percaya diri atau bahkan tidak punya nyali untuk mengambil keputusan tentang penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Pemerintah terus saja mengulur-ulur waktu, sekaligus mengambangkan kepastian.

Kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa soal penaikan harga BBM subsidi masih akan dibicarakan dulu dengan pimpinan parlemen. Karena parlemen sendiri sedang reses, pertemuan itu baru bisa dilakukan Senin pekan depan (13/5).

Langkah seperti itu sama sekali tidak perlu. Toh, menurut UU APBN 2013, pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk menaikkan harga BBM subsidi ini. Artinya, pemerintah tidak perlu berkonsultasi atau apalagi meminta restu parlemen.

Selain itu, konsultasi dengan parlemen juga terkesan cuma akan memperumit masalah. Selain tidak relevan, mengonsultasikan ihwal penaikan harga BBM subsidi kepada parlemen juga tidak produktif. Cuma membuang-buang waktu dan energi. Parlemen hampir pasti tak akan begitu saja memberi restu. Justru karena diajak berbicara, parlemen kemungkinan menyodorkan sejumlah prasyarat sebelum pemerintah mengetukkan palu tentang penaikan harga BBM subsidi ini.

Karena itu, sikap pemerintah mengoper bola ke parlemen mengenai kebijakan harga BBM subsidi ini sungguh sulit dipahami. Sikap tersebut malah memepertegas bahwa pemerintah ragu-ragu, tidak percaya diri, dan tidak punya nyali. Pemerintah paranoid oleh risiko tidak populer di mata publik.

Padahal risiko itu tak terhindarkan. Sekarang ataupun baru tahun depan harga BBM subsidi dinaikkan, risiko tidak populer tetap saja harus dihadapi pemerintah.

Walhasil, pemerintah sungguh-sungguh tidak beralasan bersikap paranoid kehilangan popularitas. Lagi pula, siapa bilang mengambangkan terus harga BBM subsidi seperti sekarang ini membuat popularitas pemerintah jadi lebih moncer? Menunda-nunda penaikan harga BBM subsidi malah membuat rakyat senewen -- karena situasi pasar secara keseluruhan menjadi diliputi gejolak dan sarat spekulasi.

Itu berarti, di mata rakyat, citra pemerintah dalam konteks pengambilan kebijakan tentang harga BBM subsidi sama sekali tidak elok. Pemerintah terkesankan kelewat banyak omong tapi miskin keyakinan diri untuk bersikap tegas dan lugas mengambil keputusan -- notabene justru di saat yang sudah tepat.

Seharusnya, menjelang akhir masa bakti sekarang ini, pemerintah mengubah "paradigma" tidak sehat dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis -- sehingga ending pemerintahan pun secara keseluruhan kelak menjadi elok. Kesan bahwa pemerintah cenderung lelet karena lebih sibuk mematuk-matut diri, kebanyakan berwacana, serta kurang bernyali harus bisa dipupus di hari-hari sekarang ini lewat pengambilan kebijakan-kebijakan yang tegas, lugas, dan trengginas.

Jadi, dalam soal penaikan harga BBM subsidi, pemerintah jangan takut tidak populer -- karena toh sekarang ini pun relatif sudah tidak populer. Kesan tersebut justru bisa menguap lewat pengambilan keputusan yang menunjukkan
sikap percaya diri tinggi. Terlebih rakyat kebanyakan boleh jadi sudah cukup paham bahwa penaikan harga BBM subsidi adalah pil pahit yang menyehatkan.

Boleh diyakini bahwa rakyat kini justru tidak happy karena sudah kelewat lama terombang-ambing dalam ketidakpastian soal kebijakan harga BBM subsidi ini. Rakyat sangat berharap keputusan tentang itu tidak serupa sinetron yang cuma berputar-putar alias tak kunjung mencapai klimaks dan ending.

Maka, lupakan niat atau keinginan berkonsultasi dengan parlemen. Segera ambil keputusan bahwa harga BBM subsidi naik. Toh opsi-opsi tentang itu sudah tersedia.***

Jakarta, 7 Mei 2013