04 Juni 2013

Gejolak Harga Bahan Pokok

Harga kebutuhan pokok bergejolak lagi. Padahal beberapa faktor yang potensial memicu gejolak itu masih di awang-awang. Penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, misalnya, masih sebatas rencana alias belum direalisasikan. Itu berarti, dalam konteks produksi dan distribusi barang, harga BBM belum menjadi faktor yang menambah ongkos.

Begitu juga momen Ramadhan dan Lebaran, yang masih beberapa pekan di belakang, layak disingkirkan dulu sebagai faktor yang memicu gejolak harga kebutuhan pokok ini. Gejolak tersebut bukan disebabkan oleh peningkatan permintaan. Juga bukan terutama karena persediaan barang menyusut. Toh secara relatif sekarang ini permintaan dan penawaran di pasar masih berkeseimbangan. 

Boleh jadi, gejolak itu lebih dipicu oleh faktor psikologi masyarakat, khususnya pelaku pasar. Pasar melakukan ekspektasi-ekspektasi atas beberapa faktor yang sensitif memicu kenaikan harga kebutuhan pokok. Faktor-faktor itu tak lain penaikan harga BBM subsidi. Juga momen Ramadhan dan Lebaran. 

Bagi pasar, meski baru rencana, penaikan harga BBM sudah langsung diekspektasi seolah-olah sudah menjadi kenyataan. Begitu pula momen Ramadhan dan Lebaran yang masih relatif jauh di belakang: seolah-olah permintaan sekarang ini sudah melonjak. 

Kenyataan itu tak harus terjadi kalau saja pemerintah tidak abai terhadap psikologi pasar. Tetapi pemerintah bukan cuma abai, melainkan juga seolah alpa. Isu penaikan harga BBM subsidi, misalnya, dikelola dengan sangat buruk. Pemerintah malah menumbuhkan kesan ragu dan tidak percaya diri untuk segera mengambil keputusan menaikkan harga BBM subsidi. Karena itu, isu penaikan harga BBM subsidi pun tak terelakkan lagi bergerak liar mengaduk-aduk emosi pasar. 

Pemerintah seolah alpa bahwa isu penaikan harga BBM sangat sensitif memicu pasar bergejolak. Seharusnya isu tersebut dikelola secara sangat hati-hati. Antara lain dengan tidak mengobral diskursus penaikan selama keputusan masih jauh di belakang. Selama pemerintah masih kurang percaya diri untuk segera mengetukkan palu tanda keputusan dijatuhkan, diskursus penaikan harga BBM subsidi sungguh tidak produktif -- bahkan merusak harmoni pasar sebagaimana terjadi sekarang ini. 

Jadi, seharusnya pemerintah menahan diri. Bahwa penaikan harga BBM subsidi perlu disosialisasikan lebih dulu sebelum pada saatnya keputusan dijatuhkan, itu memang perlu. Tapi sosialisasi jangan lantas menjadi over exposed sehingga secara tidak perlu masyarakat terdorong bereaksi dengan melakukan ekspektasi-ekspektasi. 

Di sisi lain, pemerintah juga seharusnya bersikap awas dalam menghadapi momen Ramadhan dan Lebaran seperti sekarang ini. Seperti di tahun-tahun yang sudah lewat, momen tersebut selalu mendorong pasar diwarnai spekulasi. Karena itu, meski permintaan tidak melonjak seperti saat Ramadhan dan Lebaran, harga kebutuhan pokok sudah bergerak liar dan bergejolak. Seolah-olah harga kebutuhan pokok ini punya iramanya sendiri yang sama sekali tak terkait dengan hukum permintaan dan penawaran. 

Kegagalan mengelola isu-isu yang mendongkrak harga kebutuhan pokok bergejolak ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mengambil pelajaran dari krisis pasar di waktu-waktu lalu. Pemerintah tidak menjadikan gejolak-gejolak pasar di masa yang sudah lewat sebagai rujukan berharga untuk bersikap awas dan antisipatif. 

Begitulah: pemerintah telanjur asyik mengolah aneka wacana yang notabene tidak selalu urgen dan tidak pula senantiasa bermanfaat bagi kepentingan publik.***

Jakarta, 4 Juni 2013