01 Februari 2013

Pembenahan Impor Daging

Prahara yang menimpa Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq -- menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -- seolah pembenaran atas bisik-bisik yang selama ini beredar. Yaitu bahwa proses penentuan alokasi kuota impor daging di Kementan sarat diwarnai praktik percaloan.

Nah, mereka yang berperan menjadi makelar, konon, adalah figur-figur yang memiliki akses kuat kepada orang nomor satu di Kementan yang notabene kader PKS. Mentan Suswono sendiri telah membantah sinyalemen itu. Bahkan dia menyatakan mendukung penuh langkah yang ditempuh KPK terkait dugaan kongkalingkong dalam proses penentuan alokasi kuota impor daging sapi ini.

Impor daging sapi adalah bisnis yang sangat menggiurkan. Keuntungan yang bisa dinikmati importer sungguh besar. Bukan saja karena volume impor memang jumbo (pernah mencapai 120.000 ton setahun), melainkan juga karena margin harga impor dan harga jual di dalam negeri juga tak bisa dibilang kecil. Dengan memperoleh kuota impor sebanyak 1.000 ton saja, misalnya, sebuah perusahaan bisa meraup laba puluhan miliar.

Karena itu, izin dan alokasi kuota impor daging sapi jelas menjadi buruan banyak perusahaan importer. Untuk itu, wajar jika berbagai upaya tak segan mereka tempuh. Dalam konteks ini pula dugaan bahwa mereka memanfaatkan jasa makelar sungguh beralasan. Begitu pula dugaan bahwa jasa makelar itu diperoleh lewat figur-figur yang punya akses kuat kepada penentu kebijakan di Kementan selaku institusi yang mengatur alokasi kuota impor daging sapi.

Peran makelar menjadi kian penting setelah belakangan pemerintah menurunkan kuota impor daging sapi secara drastis -- konon dalam rangka mendorong produksi daging di dalam negeri. Jika tahun 2011 sebanyak 120.000 ton, kuota impor daging sapi ini tahun lalu turun menjadi 85.000 ton. Tahun ini, kuota tersebut turun lagi sedikit dibanding tahun lalu menjadi 80.000 ton.

Jumlah uang yang bisa diraup makelar sendiri bukan ecek-ecek. Seperti hasil investigasi sebuah majalah, beberapa waktu lalu, komisi yang dinikmati makelar ini bisa mencapai Rp 3.000 per kg. Dengan "memainkan" kuota impor yang tiap tahun mencapai puluhan ribu ton, maka total komisi itu jelas bernilai superjumbo.

Gurihnya impor daging sapi itu juga membuka kemungkinan praktik perburuan rente berupa jual-beli kuota impor antarperusahaan impoter. Dalam konteks ini, perusahaan tertentu sekadar berburu kuota impor. Semata untuk mendapatkan rente, dia tidak melaksanakan sendiri impor daging. Kuota impor dia jual kepada perusahaan lain.

Tak bisa tidak, karena tergambar tidak sehat, proses perizinan impor daging sapi ini -- terutama menyangkut penentuan alokasi kuota dan pemilihan perusahaan importir -- harus dibenahi. Berbagai celah yang memungkinkan praktik tidak fair harus dikikis habis. Dalam konteks ini, penentuan alokasi kuota impor harus dibuat transparan dan terbuka sehingga publik bisa ikut memantau serta mengawasi.

dengan aturan main yang transparan dan terbuka, praktik percaloan dalam penentuan alokasi kuota impor niscaya bisa diharapkan mudah diantisipasi dan gampang diidentifikasi. Begitu pula praktik perburuan rente di antara perusahaan importer. Untuk itu, aturan main harus dibuat benar-benar tegas dan lugas: perusahaan importer yang sekadar memburu rente dimasukkan daftar hitam dan dilarang mengajukan lagi permohonan memperoleh alokasi kuota impor.

Sejalan dengan itu, program swasembada daging harus sungguh-sungguh dilaksanakan sehingga bisa segera terwujud. Program tersebut jangan lagi diperlakukan sekadar angin surga seperti selama ini. Kesungguhan dan kerja keras semua pihak menjadi kebutuhan agar swasembada daging tidak terus menggantung di angan-angan.***

Jakarta, 1 Februari 2013