Prahara yang
menimpa Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq -- menjadi
pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -- seolah pembenaran atas
bisik-bisik yang selama ini beredar. Yaitu bahwa proses penentuan alokasi kuota
impor daging di Kementan sarat diwarnai praktik percaloan.
Nah, mereka yang
berperan menjadi makelar, konon, adalah figur-figur yang memiliki akses kuat
kepada orang nomor satu di Kementan yang notabene kader PKS. Mentan Suswono
sendiri telah membantah sinyalemen itu. Bahkan dia menyatakan mendukung penuh
langkah yang ditempuh KPK terkait dugaan kongkalingkong dalam proses penentuan
alokasi kuota impor daging sapi ini.
Impor daging sapi
adalah bisnis yang sangat menggiurkan. Keuntungan yang bisa dinikmati importer
sungguh besar. Bukan saja karena volume impor memang jumbo (pernah mencapai
120.000 ton setahun), melainkan juga karena margin harga impor dan harga jual
di dalam negeri juga tak bisa dibilang kecil. Dengan memperoleh kuota impor
sebanyak 1.000 ton saja, misalnya, sebuah perusahaan bisa meraup laba puluhan
miliar.
Karena itu, izin
dan alokasi kuota impor daging sapi jelas menjadi buruan banyak perusahaan
importer. Untuk itu, wajar jika berbagai upaya tak segan mereka tempuh. Dalam
konteks ini pula dugaan bahwa mereka memanfaatkan jasa makelar sungguh
beralasan. Begitu pula dugaan bahwa jasa makelar itu diperoleh lewat
figur-figur yang punya akses kuat kepada penentu kebijakan di Kementan selaku
institusi yang mengatur alokasi kuota impor daging sapi.
Peran makelar
menjadi kian penting setelah belakangan pemerintah menurunkan kuota impor
daging sapi secara drastis -- konon dalam rangka mendorong produksi daging di
dalam negeri. Jika tahun 2011 sebanyak 120.000 ton, kuota impor daging sapi ini
tahun lalu turun menjadi 85.000 ton. Tahun ini, kuota tersebut turun lagi
sedikit dibanding tahun lalu menjadi 80.000 ton.
Jumlah uang yang
bisa diraup makelar sendiri bukan ecek-ecek. Seperti hasil investigasi sebuah
majalah, beberapa waktu lalu, komisi yang dinikmati makelar ini bisa mencapai
Rp 3.000 per kg. Dengan "memainkan" kuota impor yang tiap tahun
mencapai puluhan ribu ton, maka total komisi itu jelas bernilai superjumbo.
Gurihnya impor
daging sapi itu juga membuka kemungkinan praktik perburuan rente berupa
jual-beli kuota impor antarperusahaan impoter. Dalam konteks ini, perusahaan
tertentu sekadar berburu kuota impor. Semata untuk mendapatkan rente, dia tidak
melaksanakan sendiri impor daging. Kuota impor dia jual kepada perusahaan lain.
Tak bisa tidak,
karena tergambar tidak sehat, proses perizinan impor daging sapi ini --
terutama menyangkut penentuan alokasi kuota dan pemilihan perusahaan importir
-- harus dibenahi. Berbagai celah yang memungkinkan praktik tidak fair harus
dikikis habis. Dalam konteks ini, penentuan alokasi kuota impor harus dibuat
transparan dan terbuka sehingga publik bisa ikut memantau serta mengawasi.
dengan aturan
main yang transparan dan terbuka, praktik percaloan dalam penentuan alokasi
kuota impor niscaya bisa diharapkan mudah diantisipasi dan gampang
diidentifikasi. Begitu pula praktik perburuan rente di antara perusahaan
importer. Untuk itu, aturan main harus dibuat benar-benar tegas dan lugas:
perusahaan importer yang sekadar memburu rente dimasukkan daftar hitam dan
dilarang mengajukan lagi permohonan memperoleh alokasi kuota impor.
Sejalan dengan
itu, program swasembada daging harus sungguh-sungguh dilaksanakan sehingga bisa
segera terwujud. Program tersebut jangan lagi diperlakukan sekadar angin surga
seperti selama ini. Kesungguhan dan kerja keras semua pihak menjadi kebutuhan
agar swasembada daging tidak terus menggantung di angan-angan.***
Jakarta, 1
Februari 2013