Draf surat
perintah penyidikan (sprindik) atas nama tersangka Anas Urbaningrum adalah
dokumen rahasia -- bahkan sangat rahasia. Karena sangat rahasia, dokumen
tersebut jelas tak boleh sembarang beredar ke tengah publik. Tanpa pernyataan
resmi institusi bersangkutan, peredaran dokumen itu di tengah publik adalah
ilegal atau bahkan kriminal.
Karena itu,
peredaran dokumen draf sprindik atas nama Anas ini mengundang pertanyaan besar.
Pertama: otentikkah dokumen tersebut? Kalau terbukti palsu, bukan merupakan
produk hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi terkait,
berarti dokumen itu merupakan kerjaan pihak tertentu dan diedarkan entah untuk
tujuan apa.
Tetapi kalau
ternyata otentik, maka menjadi pertanyaan berikutnya: apakah peredaran dokumen
itu di tengah publik merupakan pembocoran ataukah kebocoran? Apakah itu
kesengajaan ataukah kelalaian KPK? Kalau kesengajaan, untuk apa dibocorkan?
Kalau kelalaian, kok bisa bocor?
Dokumen draf
sprindik atas nama Anas Urbaningrum yang beredar di sejumlah media massa itu
tanpa tanda tangan resmi (hanya tiga paraf pimpinan KPK) dan tanpa nomor surat.
Dalam dokumen itu jelas tertulis: status hukum Anas disebut tersangka.
Kalau benar
merupakan produk hukum KPK, dokumen yang beredar itu mestinya hanya diketahui
lingkungan terbatas di KPK: direktur penyelidikan, direktur penyidikan, deputi
penindakan, serta pimpinan KPK plus satgasnya.
Boleh jadi,
dokumen yang beredar itu otentik produk KPK -- bukan dokumen palsu. Ini tecermin
dari langkah KPK sendiri yang Senin lalu menggelar rapat khusus pimpinan --
minus sang ketua Abraham Samad yang sedang bermuhibah ke mancanegara. Rapat
membahas dugaan kebocoran dokumen sprindik atas nama Anas Urbaningrum.
Jadi, tampaknya
KPK sudah mengambil sikap bahwa beredarnya dokumen itu di tengah publik
merupakan kelalaian KPK -- bukan sebuah kesengajaan. Tetapi, kok bisa dokumen
yang sangat rahasia bocor ke tengah publik?
Justru itu,
berarti ada yang tidak beres di tubuh KPK ini. Kebocoran dokumen sprindik atas
nama Anas itu memberi gambaran bahwa sistem keamanan dan sistem pengamanan KPK
ternyata rawan. Artinya, KPK tak becus menjaga kerahasiaan dokumen hukum.
Justru itu, kebocoran tersebut sungguh memalukan -- karena tak sepatutnya dialami
institusi sekaliber KPK.
Jadi, kebocoran
dokumen rahasia itu adalah sangat konyol -- dan lantaran itu merupakan sebuah
tamparan keras bagi kredibilitas KPK. Dalam bahasa terang, kebocoran itu
membuat publik menangkap kesan bahwa KPK tidak profesional alias amatiran.
Bagaimanapun, itu
sungguh masalah serius. Artinya, masalah tersebut sama sekali tak bisa
ditoleransi. Bukan saja menyangkut nasib orang di depan hukum, melainkan juga
lantaran kebocoran dokumen sangat rahasia itu punya implikasi tidak sehat bagi
kehidupan bermasyarakat. Dokumen-dokumen rahasia yang bocor bisa dimanfaatkan
orang sebagai komoditas bernilai ekonomi. Info yang terkandung di dalam dokumen
itu bisa dibisniskan orang secara ilegal untuk digunakan sebagai alat penekan
bagi kepentingan politis, ekonomis, ataupun hukum.
Karena itu, KPK
mutlak harus mampu membongkar kebocoran dokumen sprindik atas nama Anas
Urbaningrum ini. Bukan hanya orang-orang yang terlibat harus bisa diungkap dan
kemudian ditindak sebagai kriminal, melainkan juga titik-titik yang menjadi
kelemahan sistem keamanan dan pengamanan dokumen rahasia di lingkungan KPK juga
harus bisa ditemukan.
Walhasil, KPK
wajib membuat publik yakin bahwa kebocoran serupa tidak bakal terulang. Kalau
tidak, kredibilitas institusi KPK dalam menjaga kerahasiaan dokumen hukum
niscaya ambrol ke titik nadir: amatiran.***
Jakarta, 12
Februari 2013