19 Februari 2013

Gejolak Harga Pangan


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gusar oleh gejolak harga kebutuhan pokok sekarang ini. Dalam rapat paripurna kabinet di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu, Presiden menilai harga kebutuhan pokok, terutama pangan, sudah tidak wajar -- karena melonjak drastis. Oleh sebab itu, Presiden memerintahkan para menteri dan kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) agar melakukan upaya stabilisasi.

Nah, kalau Presiden sudah gusar, berarti gejolak harga kebutuhan pokok ini sudah tergolong gawat. Gawat, karena dampak inflatoar yang timbul niscaya menggerogoti daya beli masyarakat secara signifikan. Bagi kelompok lapisan bawah, dampak inflatoar itu juga bersifat menohok: menurunkan tingkat kesejahteraan.

Kegawatan harga kebutuhan pokok sekarang ini tergambar jelas dalam angka-angka. Harga daging sapi, misalnya, dalam dua bulan terakhir naik 40 persen lebih dari dari Rp 70.000 menjadi sekitar Rp 100.000 per kg. Daging ayam juga naik hampir 20 persen dari Rp 17.000 menjadi Rp 21.000, telur naik 25 persen dari Rp 16.000 menjadi Rp 20.000 per kg.

Lonjakan harga-harga itu tak selalu lantaran faktor permintaan dan penawaran. Sebut saja jejolak harga daging sapi: itu bukan karena pasokan kurang. Toh, seperti kata pemerintah, ketersediaan dan pasokan daging sapi sekarang ini tetap relatif normal.

Demikian juga permintaan pasar. Bahkan permintaan ini -- karena harga melonjak -- belakangan ini menyusut signifikan. Karena permintaan susut, mestinya harga daging sapi mengalami arus balik. Namun toh harga daging sapi tetap terpacak di langit tinggi.

Kenyataan itu kian menguatkan dugaan bahwa praktik kartel
merajalela. Pasar kebutuhan pokok -- juga sejumlah komoditas lain -- dikangkangi kekuatan-kekuatan tak terlihat. Mereka begitu leluasa mendiktekan harga. Demikian perkasanya permainan kartel ini, sampai-sampai gejolak harga bisa terjadi tanpa sebab yang kasat mata.

Karena itu, di Indonesia, praktik kartel -- khususnya menyangkut kebutuhan pokok pangan -- adalah tindak persekongkolan. Persekongkolan, karena praktik tersebut merugikan khalayak luas sekaligus hanya menguntungkan para pelaku.

Praktik kartel bisa merajalela jelas bukan tanpa sebab. Kartel bisa leluasa dan perkasa mempermainkan pasar karena kondisi memang kondusif. Paling tidak, itu bisa berupa sikap ataupun kebijakan pemerintah yang lembek dan longgar.

Sikap dan kebijakan pemerintah yang selama ini cenderung promodal besar -- juga mengagungkan mekanisme pasar -- adalah lahan yang telah menumbuhsuburkan praktik kartel di sektor kebutuhan pokok. Terlebih manajemen pemerintah juga kedodoran, sehingga kartel benar-benar leluasa mencengkram pasar.

Karena itu, gejolak harga kebutuhan pokok tak cukup ditangani melalui melalui pendekatan teori supply and demand. Selama faktor-faktor yang mengondisikan praktik kartel tak tersentuh, gejolak harga tak bakal pernah bisa diatasi secara tuntas. Apa yang mungkin terjadi, gejolak harga sekadar mereda dan stabil pada tingkat yang sudah membubung. Tetapi itu [un cuma gejala sementara -- sekadar sebuah rehat.

Jadi, gejolak harga kebutuhan pokok sekarang ini sepatutnya mendorong pemerintah melakukan introspeksi dan koreksi menyangkut komitmen, arah, dan target-target kebijakan ekonomi. Intinya, kebijakan ekonomi harus lebih prorakyat alias tidak lagi cenderung propasar dan promodal besar.***

Jakarta, 19 Februari 2013