Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono gusar oleh gejolak harga kebutuhan pokok sekarang ini. Dalam
rapat paripurna kabinet di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu, Presiden menilai
harga kebutuhan pokok, terutama pangan, sudah tidak wajar -- karena melonjak
drastis. Oleh sebab itu, Presiden memerintahkan para menteri dan kepala daerah
(gubernur dan bupati/walikota) agar melakukan upaya stabilisasi.
Nah, kalau
Presiden sudah gusar, berarti gejolak harga kebutuhan pokok ini sudah tergolong
gawat. Gawat, karena dampak inflatoar yang timbul niscaya menggerogoti daya
beli masyarakat secara signifikan. Bagi kelompok lapisan bawah, dampak
inflatoar itu juga bersifat menohok: menurunkan tingkat kesejahteraan.
Kegawatan harga
kebutuhan pokok sekarang ini tergambar jelas dalam angka-angka. Harga daging
sapi, misalnya, dalam dua bulan terakhir naik 40 persen lebih dari dari Rp
70.000 menjadi sekitar Rp 100.000 per kg. Daging ayam juga naik hampir 20
persen dari Rp 17.000 menjadi Rp 21.000, telur naik 25 persen dari Rp 16.000
menjadi Rp 20.000 per kg.
Lonjakan
harga-harga itu tak selalu lantaran faktor permintaan dan penawaran. Sebut saja
jejolak harga daging sapi: itu bukan karena pasokan kurang. Toh, seperti kata
pemerintah, ketersediaan dan pasokan daging sapi sekarang ini tetap relatif
normal.
Demikian juga
permintaan pasar. Bahkan permintaan ini -- karena harga melonjak -- belakangan
ini menyusut signifikan. Karena permintaan susut, mestinya harga daging sapi
mengalami arus balik. Namun toh harga daging sapi tetap terpacak di langit
tinggi.
Kenyataan itu
kian menguatkan dugaan bahwa praktik kartel
merajalela. Pasar
kebutuhan pokok -- juga sejumlah komoditas lain -- dikangkangi
kekuatan-kekuatan tak terlihat. Mereka begitu leluasa mendiktekan harga.
Demikian perkasanya permainan kartel ini, sampai-sampai gejolak harga bisa
terjadi tanpa sebab yang kasat mata.
Karena itu, di
Indonesia, praktik kartel -- khususnya menyangkut kebutuhan pokok pangan --
adalah tindak persekongkolan. Persekongkolan, karena praktik tersebut merugikan
khalayak luas sekaligus hanya menguntungkan para pelaku.
Praktik kartel
bisa merajalela jelas bukan tanpa sebab. Kartel bisa leluasa dan perkasa
mempermainkan pasar karena kondisi memang kondusif. Paling tidak, itu bisa
berupa sikap ataupun kebijakan pemerintah yang lembek dan longgar.
Sikap dan
kebijakan pemerintah yang selama ini cenderung promodal besar -- juga
mengagungkan mekanisme pasar -- adalah lahan yang telah menumbuhsuburkan
praktik kartel di sektor kebutuhan pokok. Terlebih manajemen pemerintah juga
kedodoran, sehingga kartel benar-benar leluasa mencengkram pasar.
Karena itu,
gejolak harga kebutuhan pokok tak cukup ditangani melalui melalui pendekatan
teori supply and demand. Selama faktor-faktor yang mengondisikan praktik kartel
tak tersentuh, gejolak harga tak bakal pernah bisa diatasi secara tuntas. Apa
yang mungkin terjadi, gejolak harga sekadar mereda dan stabil pada tingkat yang
sudah membubung. Tetapi itu [un cuma gejala sementara -- sekadar sebuah rehat.
Jadi, gejolak
harga kebutuhan pokok sekarang ini sepatutnya mendorong pemerintah melakukan
introspeksi dan koreksi menyangkut komitmen, arah, dan target-target kebijakan
ekonomi. Intinya, kebijakan ekonomi harus lebih prorakyat alias tidak lagi
cenderung propasar dan promodal besar.***
Jakarta, 19
Februari 2013