07 Februari 2013

Komitmen Hidup Sehat


Kalangan pemda ogah-ogahan menerapkan pola hidup sehat bagi masyarakat dengan mengatur pembatasan rokok. Penilaian tersebut dilontarkan bukan oleh sembarang orang, melainkan oleh Menkes Nafsiah Mboi. Bu Menteri mendapati kenyataan bahwa hanya 59 dari 508 kabupaten/kota yang sudah memiliki kebijakan tentang kawasan tanpa rokok. Kebijakan tersebut bisa berupa peraturan daerah, peraturan walikota/bupati, surat edaran, himbauan, dan lain-lain.

Fakta itu merupakan bukti gamblang bahwa kalangan pemda memang ogah-ogahan mengatur pembatasan rokok. Boleh jadi, mereka memandang remeh soal itu. Bagi mereka, seperti sinyalemen Bu Menkes, pendapatan asli daerah tetap gendut jauh lebih penting ketimbang repot-repot mengatur pembatasan rokok.

Alasan itu masuk akal karena pengaturan pembatasan rokok bisa berdampak mengempiskan pendapatan daerah. Tapi, soalnya, mengabaikan pengaturan itu nyata-nyata mempertaruhkan kesehatan masyarakat -- terutama kelompok nonperokok, karena mereka menjadi tak terlindungi dari risiko terpapar asap rokok yang notabene beracun.

Jadi, sikap pragmatis yang ditunjukkan kalangan pemda sungguh memrihatinkan. Terlebih lagi jika sikap tersebut sekaligus merupakan wujud ketidakberdayaan pemda dari tekanan industri rokok.

Memang agak sulit dipahami jika pemda sampai tunduk-patuh terhadap kepentingan industri rokok. Namun gambaran di lapangan bisa memberi pembenaran tentang itu.

Tekanan industri rokok terhadap jajaran pemda ini bukan hanya gencar, tetapi juga bermacam ragam. Intinya, mereka intensif melobi pemda agar tidak melakukan pengaturan pembatasan rokok. Bahkan kebijakan kawasan tanpa rokok, misalnya,
bukan cuma dibendung, melainkan juga didistorsi menjadi mandul. Kawasan tanpa rokok, yang sejauh ini sudah diberlakukan di sejumlah kecil pemda, pada akhirnya menjadi sekadar aksesoris.

Di Jakarta saja, sebagai contoh, Pergub Kawasan Tanpa Rokok praktis cuma menjadi macan ompong. Peraturan tersebut di lapangan -- terutama di kalangan swasta, seperti pusat perbelanjaan modern (mal), kafe, juga restoran -- nyaris tidak digubris. Mereka tetap saja memanjakan perokok sekaligus mengorbankan kelompok nonperokok.

kenyataan itu bisa terjadi karena pengawasan lemah dan penegakan hukum tidak dijalankan. Razia tak pernah lagi dilakukan. Laluberbagai pelanggaran terhadap Pergub Kawasan Tanpa Rokok sudah tak pernah lagi dikenai sanksi. Penegakan hukum sekadar hangat-hangat tahi ayam, yaitu cuma di tengah suasana peluncuran Pergu Kawasan Tanpa Rokok.

Lagi-lagi dalam konteks itu pemda terkesan setengah hati alias ogah-ogahan. Karena itu, untuk sementara ini, industri rokok berada di atas angin. Mereka relatif berhasil membendung kampanye hidup sehat tanpa rokok.

Itu menjadi bukti bahwa perlawanan memang keras sekali. Padahal kampanye hidup sehat tanpa rokok sama sekali tidak melarang peredaran rokok. Kampanye tersebut terutama merujuk kepada pengaturan pembatasan rokok, sehingga orang tidak lagi semena-mena merokok di sembarang tempat. Dengan pengaturan itu, masyarakat nonperokok terlindungi sekaligus tetap memberi ruang kepada kelompok perokok.

Walhasil, komitmen kalangan pengambil kebijakan terhadap kampanye hidup sehat tanpa rokok ini perlu direaktualisasi. Jika tidak, kampanye hidup sehat tanpa rokok niscaya cuma omong kosong.***

Jakarta, 7 Februari 2013