Kalangan pemda
ogah-ogahan menerapkan pola hidup sehat bagi masyarakat dengan mengatur
pembatasan rokok. Penilaian tersebut dilontarkan bukan oleh sembarang orang,
melainkan oleh Menkes Nafsiah Mboi. Bu Menteri mendapati kenyataan bahwa hanya
59 dari 508 kabupaten/kota yang sudah memiliki kebijakan tentang kawasan tanpa
rokok. Kebijakan tersebut bisa berupa peraturan daerah, peraturan
walikota/bupati, surat edaran, himbauan, dan lain-lain.
Fakta itu
merupakan bukti gamblang bahwa kalangan pemda memang ogah-ogahan mengatur
pembatasan rokok. Boleh jadi, mereka memandang remeh soal itu. Bagi mereka,
seperti sinyalemen Bu Menkes, pendapatan asli daerah tetap gendut jauh lebih
penting ketimbang repot-repot mengatur pembatasan rokok.
Alasan itu masuk
akal karena pengaturan pembatasan rokok bisa berdampak mengempiskan pendapatan
daerah. Tapi, soalnya, mengabaikan pengaturan itu nyata-nyata mempertaruhkan
kesehatan masyarakat -- terutama kelompok nonperokok, karena mereka menjadi tak
terlindungi dari risiko terpapar asap rokok yang notabene beracun.
Jadi, sikap
pragmatis yang ditunjukkan kalangan pemda sungguh memrihatinkan. Terlebih lagi
jika sikap tersebut sekaligus merupakan wujud ketidakberdayaan pemda dari
tekanan industri rokok.
Memang agak sulit
dipahami jika pemda sampai tunduk-patuh terhadap kepentingan industri rokok.
Namun gambaran di lapangan bisa memberi pembenaran tentang itu.
Tekanan industri
rokok terhadap jajaran pemda ini bukan hanya gencar, tetapi juga bermacam
ragam. Intinya, mereka intensif melobi pemda agar tidak melakukan pengaturan
pembatasan rokok. Bahkan kebijakan kawasan tanpa rokok, misalnya,
bukan cuma
dibendung, melainkan juga didistorsi menjadi mandul. Kawasan tanpa rokok, yang
sejauh ini sudah diberlakukan di sejumlah kecil pemda, pada akhirnya menjadi
sekadar aksesoris.
Di Jakarta saja,
sebagai contoh, Pergub Kawasan Tanpa Rokok praktis cuma menjadi macan ompong.
Peraturan tersebut di lapangan -- terutama di kalangan swasta, seperti pusat
perbelanjaan modern (mal), kafe, juga restoran -- nyaris tidak digubris. Mereka
tetap saja memanjakan perokok sekaligus mengorbankan kelompok nonperokok.
kenyataan itu
bisa terjadi karena pengawasan lemah dan penegakan hukum tidak dijalankan.
Razia tak pernah lagi dilakukan. Laluberbagai pelanggaran terhadap Pergub
Kawasan Tanpa Rokok sudah tak pernah lagi dikenai sanksi. Penegakan hukum
sekadar hangat-hangat tahi ayam, yaitu cuma di tengah suasana peluncuran Pergu
Kawasan Tanpa Rokok.
Lagi-lagi dalam
konteks itu pemda terkesan setengah hati alias ogah-ogahan. Karena itu, untuk
sementara ini, industri rokok berada di atas angin. Mereka relatif berhasil
membendung kampanye hidup sehat tanpa rokok.
Itu menjadi bukti
bahwa perlawanan memang keras sekali. Padahal kampanye hidup sehat tanpa rokok
sama sekali tidak melarang peredaran rokok. Kampanye tersebut terutama merujuk
kepada pengaturan pembatasan rokok, sehingga orang tidak lagi semena-mena
merokok di sembarang tempat. Dengan pengaturan itu, masyarakat nonperokok
terlindungi sekaligus tetap memberi ruang kepada kelompok perokok.
Walhasil,
komitmen kalangan pengambil kebijakan terhadap kampanye hidup sehat tanpa rokok
ini perlu direaktualisasi. Jika tidak, kampanye hidup sehat tanpa rokok niscaya
cuma omong kosong.***
Jakarta, 7
Februari 2013