22 Februari 2013

Gaji Kepala Daerah

Penaikan gaji kepala daerah boleh-boleh saja. Sebagai wujud apresiasi atas pengabdian dalam melayani masyarakat, penaikan gaji kepada kepala daerah memang sah-sah saja. Terlebih kalau benar gaji mereka sekarang ini relatif tidak besar dibanding beban kewajiban dan tanggung jawab yang mereka pikul.

Meski begitu, penaikan gaji kepala daerah tak termasuk urgen -- terutama karena lebih berdampak menyusahkan khalayak luas. Masyarakat kebanyakan menjadi susah karena penaikan gaji kepala daerah -- seperti juga kebijakan-kebijakan lain yang punya dampak inflatoar -- berdampak memicu kenaikan harga aneka barang dan jasa.

Beban kehidupan masyarakat luas sekarang ini memang sangat tidak ringan. Itu terutama lantaran harga barang dan jasa, wabil khusus kebutuhan pokok, telanjur berkali-kali melonjak tanpa pernah turun ke titik semula. Sebelum isu penaikan gaji kepala daerah ini mencuat pun, masyarakat sudah dibuat puyeng oleh harga daging sapi sudah meroket tidak karu-karuan. Masyarakat lebih puyeng lagi karena belakangan harga beberapa jenis kebutuhan pokok lain -- sebut saja telur dan sayuran -- ikut-ikutan menyusul melonjak.

Justru itu, penaikan gaji kepala daerah -- notabene punya dampak inflatoar -- niscaya menjadi pukulan tambahan yang "menyempurnakan" penderitaan masyarakat luas. Beban hidup mereka menjadi semakin berat dan babak-belur.

Terutama bagi masyarakat lapisan bawah, beban itu semakin menyesakkan. Menyesakkan, karena mereka sama sekali tak memiliki bantalan yang bisa diandalkan berfungsi sebagai pengaman. Kaum pekerja, misalnya, tak menikmati perbaikan pendapatan. Bahkan penaikan upah minimum yang digariskan pemerintah pun ditangguhkan karena mengundang keberatan pihak pengusaha.

Di sisi lain, kondisi kehidupan kaum petani juga tidak lebih baik. Akibat cuaca yang tidak bersahabat, mereka harus mananggung risiko gagal panen. Sementara kalangan pegawai negeri, termasuk anggota TNI dan Polri, memang agak mending karena bisa menikmati kenaikan gaji.

Namun, secara substansif, kenaikan gaji pegawai negeri pun relatif tak banyak bermakna. Itu tadi, karena harga kebutuhan pokok telanjur lebih dulu terpicu melejit. Jadi, seperti juga kelompok pekerja maupun petani, beban hidup pegawai negeri pun pada dasarnya menyesakkan juga.

Menimbang kenyataan itu pula, penaikan gaji kepala daerah sungguh terasa mengusik. Bukan hanya mengundang kecemburuan kelompok sosial lain, melainkan terutama karena memicu kembali kenaikan harga barang dan jasa. Artinya, penaikan gaji kepala daerah ini berdampak menyengsarakan kehidupan khalayak luas.

Di sisi lain, tanpa harus dikait-kaitkan dengan soal kinerja keseharian kepala daerah pun, penaikan gaji itu juga tidak urgen bahkan menurut konteks kesejahteraan mereka sendiri selama ini. Secara keseluruhan, jabatan kepala daerah masih relatif memberikan kesejahteraan yang memadai. Paling tidak, toh tidak pernah tertoreh kabar soal kepala daerah yang keleleran dalam soal kesejahteraan.

Itu pula, sebenarnya, yang membuat jabatan kepala daerah menjadi impian dan incaran banyak orang. Seperti tecermin dalam berbagai perhelatan pilkada, orang (calon) rela mengeluarkan biaya berpuluh atau beratus miliar rupiah untuk bisa merebut kursi kepala daerah.

Walhasil, posisi kepala daerah menjanjikan kesejahteraan relatif menggiurkan. Bahkan tanpa harus melakukan penyimpangan kewenangan, kepala daerah tak beralasan mengeluhkan soal kesejahteraan.

Jadi, kenapa gaji kepala daerah dinaikkan?***

Jakarta, 22 Februari 2013