Praktik kartel
daging sapi di negeri Indonesia ini ibarat angin busuk. Tidak kelihatan, tetapi
nyata tercium. Tidak kelihatan, karena orang tak bisa tunjuk hidung para
pelaku. Tapi orang merasakan benar bahwa harga daging sapi kini dipermainkan
tangan-tangan tak terlihat itu. Di Jakarta, misalnya, harga daging sapi kini
bahkan sudah jauh melampaui Rp 100.000 per kg. Sementara di daerah-daerah,
harga daging sapi ini sejak beberapa bulan terakhir juga tidak karuan.
Sebagai sebuah
gejala, praktik kartel daging sapi di dalam negeri ini sebenarnya sudah terbaca
oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hebatnya, itu bukan sekadar
asumsi atau cuma dugaan -- karena KPPU ternyata sudah menerjunkan sebuah tim
yang melakukan investigasi di lapangan.
Nah, tim
menemukan sejumlah gejala praktik kartel. Misalnya, pasokan daging menyusut
drastis, sementara ketersediaan daging di lapangan relatif memadai.
Tanda-tanda lain:
alokasi kuota impor daging sapi tidak jelas dan tidak transparan. Kemudian
banyak rumah potong hewan secara tidak langsung dikuasai perusahaan
daging, sehingga mereka leluasa
mendiktekan harga.
Meski begitu,
pemerintah -- seperti kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa -- tak yakin bahwa
pasar daging sapi di dalam negeri dikangkangi kartel. Bagi pemerintah, gejolak
harga daging sapi sekarang ini semata masalah pasokan yang tak seimbang
dibanding kebutuhan.
Karena itu,
pemerintah pun lantas menggelar operasi pasar daging sapi -- meski untuk
sementara cuma di titik tertentu di Jakarta. Pemerintah berkeyakinan, mekanisme
operasi pasar bisa diandalkan meredakan gejolak harga daging sapi.
Tentu, khalayak
luas pun berharap serupa: bahwa operasi pasar memang cespleng mengatasi gejolak
harga daging sapi.
Meski begitu,
masyarakat juga tampaknya harus realistis karena operasi pasar yang digelar
pemerintah tak terbilang masif. Operasi pasar hanya terkonsentrasi di titik
tertentu alias tidak digelar di sekian banyak lokasi.
Pemerintah
seperti setengah hati dalam menggelar operasi pasar daging sapi ini. Kesan
seperti itu makin tertoreh karena pemerintah tidak memberi sinyal bahwa operasi
pasar akan terus dilakukan sampai harga daging sapi benar-benar terkerek turun
dan stabil seperti semula. Maka beralasan jika banyak kalangan pesimistis bahwa
krisis harga daging sapi ini bisa segera diatasi.
Pesimisme seperti
itu juga sekaligus menumbuhkan keyakinan orang bahwa pasar daging sapi telanjur
dicengkram kartel. Terlebih lagi tingkat harga daging sapi sekarang ini sungguh
sudah tidak rasional sekaligus tidak sehat dibanding kadar masalah seputar
pasokan dan permintaan. Tingkat harga yang sudah melampui Rp 100.000 per kg
juga tidak wajar dibanding kondisi di berbagai negara lain yang rata-rata tak
sampai setara Rp 50.000 per kg.
Walhasil, krisis
daging sapi sekarang ini boleh jadi bukan lagi sekadar masalah pasokan dan
permintaan yang tidak seimbang. Krisis tersebut sangat mungkin memang merupakan
dampak permainan tangan-tangan tak terlihat. Tangan-tangan yang sangaja membuat
pasokan daging sapi tidak lancar dan seret sehingga harga otomatis bergerak
liar.
Karena itu, sikap
pemerintah yang begitu saja menafikan kemungkinan permainan kartel di balik
krisis harga sapi sekarang ini benar-benar diuji. Kalau situasi pasar dalam
beberapa hari ini tak membaik, tampaknya pemerintah harus meralat sikap itu.
Paling tidak, pemerintah harus bersiap-siap terhadap kemungkinan bahwa operasi
pasar gagal meredakan krisis harga daging sapi.
Dengan kata lain,
mungkin saja pemerintah akhirnya menyadari dan mengakui bahwa praktik kartel
memang biang kerok krisis harga daging sapi sekarang ini.***
Jakarta, 13
Februari 2013