13 Februari 2013

Kartel Daging Sapi


Praktik kartel daging sapi di negeri Indonesia ini ibarat angin busuk. Tidak kelihatan, tetapi nyata tercium. Tidak kelihatan, karena orang tak bisa tunjuk hidung para pelaku. Tapi orang merasakan benar bahwa harga daging sapi kini dipermainkan tangan-tangan tak terlihat itu. Di Jakarta, misalnya, harga daging sapi kini bahkan sudah jauh melampaui Rp 100.000 per kg. Sementara di daerah-daerah, harga daging sapi ini sejak beberapa bulan terakhir juga tidak karuan.

Sebagai sebuah gejala, praktik kartel daging sapi di dalam negeri ini sebenarnya sudah terbaca oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hebatnya, itu bukan sekadar asumsi atau cuma dugaan -- karena KPPU ternyata sudah menerjunkan sebuah tim yang melakukan investigasi di lapangan.

Nah, tim menemukan sejumlah gejala praktik kartel. Misalnya, pasokan daging menyusut drastis, sementara ketersediaan daging di lapangan relatif memadai.

Tanda-tanda lain: alokasi kuota impor daging sapi tidak jelas dan tidak transparan. Kemudian banyak rumah potong hewan secara tidak langsung dikuasai perusahaan daging,  sehingga mereka leluasa mendiktekan harga.

Meski begitu, pemerintah -- seperti kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa -- tak yakin bahwa pasar daging sapi di dalam negeri dikangkangi kartel. Bagi pemerintah, gejolak harga daging sapi sekarang ini semata masalah pasokan yang tak seimbang dibanding kebutuhan.

Karena itu, pemerintah pun lantas menggelar operasi pasar daging sapi -- meski untuk sementara cuma di titik tertentu di Jakarta. Pemerintah berkeyakinan, mekanisme operasi pasar bisa diandalkan meredakan gejolak harga daging sapi.

Tentu, khalayak luas pun berharap serupa: bahwa operasi pasar memang cespleng mengatasi gejolak harga daging sapi.
Meski begitu, masyarakat juga tampaknya harus realistis karena operasi pasar yang digelar pemerintah tak terbilang masif. Operasi pasar hanya terkonsentrasi di titik tertentu alias tidak digelar di sekian banyak lokasi.

Pemerintah seperti setengah hati dalam menggelar operasi pasar daging sapi ini. Kesan seperti itu makin tertoreh karena pemerintah tidak memberi sinyal bahwa operasi pasar akan terus dilakukan sampai harga daging sapi benar-benar terkerek turun dan stabil seperti semula. Maka beralasan jika banyak kalangan pesimistis bahwa krisis harga daging sapi ini bisa segera diatasi.

Pesimisme seperti itu juga sekaligus menumbuhkan keyakinan orang bahwa pasar daging sapi telanjur dicengkram kartel. Terlebih lagi tingkat harga daging sapi sekarang ini sungguh sudah tidak rasional sekaligus tidak sehat dibanding kadar masalah seputar pasokan dan permintaan. Tingkat harga yang sudah melampui Rp 100.000 per kg juga tidak wajar dibanding kondisi di berbagai negara lain yang rata-rata tak sampai setara Rp 50.000 per kg.

Walhasil, krisis daging sapi sekarang ini boleh jadi bukan lagi sekadar masalah pasokan dan permintaan yang tidak seimbang. Krisis tersebut sangat mungkin memang merupakan dampak permainan tangan-tangan tak terlihat. Tangan-tangan yang sangaja membuat pasokan daging sapi tidak lancar dan seret sehingga harga otomatis bergerak liar.

Karena itu, sikap pemerintah yang begitu saja menafikan kemungkinan permainan kartel di balik krisis harga sapi sekarang ini benar-benar diuji. Kalau situasi pasar dalam beberapa hari ini tak membaik, tampaknya pemerintah harus meralat sikap itu. Paling tidak, pemerintah harus bersiap-siap terhadap kemungkinan bahwa operasi pasar gagal meredakan krisis harga daging sapi.

Dengan kata lain, mungkin saja pemerintah akhirnya menyadari dan mengakui bahwa praktik kartel memang biang kerok krisis harga daging sapi sekarang ini.***

Jakarta, 13 Februari 2013