Dalam soal harga
daging sapi, Indonesia adalah negeri anomali. Ya, karena harga daging di dalam
negeri sangat tidak wajar. Seperti kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu
Krisnamurthi, harga daging sapi di Indonesia ini termahal di dunia. Dibanding
di negara-negara lain, harga daging di dalam negeri tertambat jauh di langit
tinggi.
Sebagai gambaran,
di Malaysia dan Singapura harga daging hanya berkisar 4,5 dolar AS atau sekitar
Rp 43.000 per kg. Sementara di Australia berkisar Rp 45.000 per kg. Nah, di dalam
negeri sekarang ini harga daging sapo sudah menyentuh Rp 95.000 per kg.
Manakala kebutuhan meningkat signifikan, harga daging ini niscaya melesat lebih
tinggi lagi.
Jelas kenyataan
itu merupakan pertanda terang-benderang bahwa pasar daging di dalam negeri ini
tidak beres. Harga daging jauh lebih mahal dibanding di mancanegara bukan hanya
tidak wajar, tapi juga tidak masuk akal sekaligus memalukan. Tidak masuk akal
karena disparitas harga di dalam negeri dibanding di mancanegara tak sepenuhnya
bisa dijelaskan oleh hukum penawaran dan permintaan.
Justru itu, harga
daging yang selangit ini juga memalukan karena menunjukkan bahwa kita tidak
becus menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan. Seolah-olah Indonesia
adalah planet lain, sehingga harga daging sapi di dalam negeri lain sendiri
dibanding dengan di negara-negara lain.
Berdasar
perspektif hukum ekonomi, boleh jadi tingginya harga daging sapi ini karena
pasokan jauh tertinggal dibanding kebutuhan. Paling tidak, karena dalam dua
tahun terakhir kuota impor daging memang turun drastis dari 120.000 ton pada
tahun 2011 menjadi 85.000 ton pada tahun lalu dan 80.000 ton untuk tahun ini.
Penurunan kuota
impor seharusnya tidak berdampak mendongkrak harga kalau saja pasokan daging di
dalam negeri sudah diperhitungkan terjamin tetap aman. Namun tampaknya
keputusan pemerintah tentang penurunan kuota impor mengabaikan soal itu.
Seolah-olah keputusan itu berdiri sendiri alias tidak dijadikan sebagai faktor
dependen, sehingga pasokan daging di masyarakat pun menjadi susut. Maka adalah
wajar kalau harga daging terus melejit dan tertambat di langit tinggi.
Atau boleh jadi,
pemerintah keliru memperhitungkan kemampuan produksi daging di dalam negeri.
Dalam konteks ini, penurunan kuota impor terbukti tak serta-merta mendongkrak
produksi daging lokal, sehingga pasokan jadi berkurang dan tak mampu memenuhi
kebutuhan.
Proses impor
daging sapi sendiri terindikasi kuat tidak sehat karena sarat diwarnai praktik
perburuan rente. Laporan investigasi sebuah majalah, beberapa waktu lalu,
menyebutkan bahwa rente di balik proses perizinan impor daging berkisar Rp
20.000 hingga Rp 30.000 per kg.
Itu berarti,
impor turut memberi kontribusi signifikan terhadap masalah harga daging yang
menjulang tinggi secara tidak wajar. Itu pula yang membuat tingginya harga
daging di dalam negeri tak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh hukum
permintaan-penawaran.
Anomali harga
daging di Indonesia ini sulit diharapkan bisa berakhir selama sumber-sumber
masalah tak kunjung bisa ditangani dengan baik. Harga daging niscaya akan terus
tinggi dan tidak wajar selama kebutuhan dan pasokan sekadar merupakan kalkulasi
ala spekulan -- tidak dihitung dan dipetakan secara akurat berdasarkan fakta di
lapangan.
Jadi, produksi
daging di dalam negeri tak bisa diharapkan meningkat signifikan selama
pemerintah tak membuat terobosan-terobosan dan tetap pelit memberi insentif
kepada peternak lokal. Langkah impor juga tak otomatis menekan harga daging di
dalam negeri selama praktik percaloan alias perburuan rente tetap dipelihara
dengan takzim.***
Jakarta, 5
Februari 2013