05 Februari 2013

Anomali Harga


Dalam soal harga daging sapi, Indonesia adalah negeri anomali. Ya, karena harga daging di dalam negeri sangat tidak wajar. Seperti kata Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, harga daging sapi di Indonesia ini termahal di dunia. Dibanding di negara-negara lain, harga daging di dalam negeri tertambat jauh di langit tinggi.

Sebagai gambaran, di Malaysia dan Singapura harga daging hanya berkisar 4,5 dolar AS atau sekitar Rp 43.000 per kg. Sementara di Australia berkisar Rp 45.000 per kg. Nah, di dalam negeri sekarang ini harga daging sapo sudah menyentuh Rp 95.000 per kg. Manakala kebutuhan meningkat signifikan, harga daging ini niscaya melesat lebih tinggi lagi.

Jelas kenyataan itu merupakan pertanda terang-benderang bahwa pasar daging di dalam negeri ini tidak beres. Harga daging jauh lebih mahal dibanding di mancanegara bukan hanya tidak wajar, tapi juga tidak masuk akal sekaligus memalukan. Tidak masuk akal karena disparitas harga di dalam negeri dibanding di mancanegara tak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh hukum penawaran dan permintaan.

Justru itu, harga daging yang selangit ini juga memalukan karena menunjukkan bahwa kita tidak becus menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan. Seolah-olah Indonesia adalah planet lain, sehingga harga daging sapi di dalam negeri lain sendiri dibanding dengan di negara-negara lain.

Berdasar perspektif hukum ekonomi, boleh jadi tingginya harga daging sapi ini karena pasokan jauh tertinggal dibanding kebutuhan. Paling tidak, karena dalam dua tahun terakhir kuota impor daging memang turun drastis dari 120.000 ton pada tahun 2011 menjadi 85.000 ton pada tahun lalu dan 80.000 ton untuk tahun ini.

Penurunan kuota impor seharusnya tidak berdampak mendongkrak harga kalau saja pasokan daging di dalam negeri sudah diperhitungkan terjamin tetap aman. Namun tampaknya keputusan pemerintah tentang penurunan kuota impor mengabaikan soal itu. Seolah-olah keputusan itu berdiri sendiri alias tidak dijadikan sebagai faktor dependen, sehingga pasokan daging di masyarakat pun menjadi susut. Maka adalah wajar kalau harga daging terus melejit dan tertambat di langit tinggi.

Atau boleh jadi, pemerintah keliru memperhitungkan kemampuan produksi daging di dalam negeri. Dalam konteks ini, penurunan kuota impor terbukti tak serta-merta mendongkrak produksi daging lokal, sehingga pasokan jadi berkurang dan tak mampu memenuhi kebutuhan.

Proses impor daging sapi sendiri terindikasi kuat tidak sehat karena sarat diwarnai praktik perburuan rente. Laporan investigasi sebuah majalah, beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa rente di balik proses perizinan impor daging berkisar Rp 20.000 hingga Rp 30.000 per kg.

Itu berarti, impor turut memberi kontribusi signifikan terhadap masalah harga daging yang menjulang tinggi secara tidak wajar. Itu pula yang membuat tingginya harga daging di dalam negeri tak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh hukum permintaan-penawaran.

Anomali harga daging di Indonesia ini sulit diharapkan bisa berakhir selama sumber-sumber masalah tak kunjung bisa ditangani dengan baik. Harga daging niscaya akan terus tinggi dan tidak wajar selama kebutuhan dan pasokan sekadar merupakan kalkulasi ala spekulan -- tidak dihitung dan dipetakan secara akurat berdasarkan fakta di lapangan.

Jadi, produksi daging di dalam negeri tak bisa diharapkan meningkat signifikan selama pemerintah tak membuat terobosan-terobosan dan tetap pelit memberi insentif kepada peternak lokal. Langkah impor juga tak otomatis menekan harga daging di dalam negeri selama praktik percaloan alias perburuan rente tetap dipelihara dengan takzim.***

Jakarta, 5 Februari 2013