Sejumlah politisi
lompat pagar. Mereka pindah ke partai debutan untuk Pemilu 2014: Partai
Nasional Demokrat (Nasdem). Mereka, antara lain, Malkan Amin, Mamat Rahayu,
Enggartiasto Lukita (Partai Golkar), Maiyasyak Johan (PPP), dan yang aktual
Akbar Faisal (Partai Hanura).
Entah berapa
banyak politisi yang pindah ke Partai Nasdem ini. Pengurus Partai Nasdem
sendiri jauh-jauh hari pernah menyebutkan bahwa politisi yang sudah berkomitmen
pindah menjadi kader mereka berjumlah hampir 40 orang. Mereka berasal dari
semua fraksi di parlemen.
Yang menarik,
sejumlah figur yang sudah resmi menyeberang ke Partai Nasdem ini memiliki
reputasi lumayan sebagai politisi. Paling tidak, sosok mereka tergolong akrab
di mata publik karena sering dikutip koran, majalah, media online, ataupun acap
tampil di layar televisi -- entah ambil bagian dalam acara bincang-bincang
(talkshow) politik, dimintai komentar atas isu-isu aktual, atau disorot sebagai
vokalis dalam persidangan-persidangan di DPR.
Kepindahan
sejumlah politisi kawakan ke Partai Nasdem ini merupakan fenomena menarik. Ini
bukan lagi fenomena kutu loncat seperti dulu-dulu. Apa yang terjadi sekarang
lebih merupakan fenomena profesionalisme politisi.
Jadi, fenomena
politisi pindah ke Partai Nasdem ini bukan lagi karena alasan ideologis ataupun
idealisme. Juga bukan karena alasan perjuangan, seperti karena tersingkirkan di
partai lama. Mirip praktik dalam dunia bisnis, mereka lompat pagar ke Partai
Nasdem tampaknya lebih karena alasan dan motif profesional. Persisnya, karena
Partai Nasdem menjanjikan imbal ekonomi berupa dana Rp 5 miliar hingga Rp 10
miliar untuk kepentingan kampanye.
Secara formal,
fenomena politisi menyeberang ke Partai Nasdem ini tidak masalah alias sah-sah
saja. Tetapi secara moral dan etis, jelas fenomena itu tidak bisa dikasih
jempol -- karena tujuan menghalalkan cara. Bagi politisi bersangkutan, pindah
ke Partai Nasdem bukan terutama untuk memperjuangkan idealisme demi
kemaslahatan rakyat. Kepindahan itu lebih karena alasan pragmatis-ekonomis
pribadi mereka sendiri.
Sementara bagi
Partai Nasdem sendiri, fenomena itu membuat mereka tak perlu susah-susah
melakukan rekrutmen dan kaderisasi. Dengan mencomot atau menarik
politisi-politisi yang sudah matang, mereka bisa berharap dapat langsung tancap
gas melakukan fungsi-fungsi politik.
Tetapi itu
membuat Partai Nasdem bersifat karbitan. Partai Nasdem tidak menjadi wahana
pendidikan politik yang sehat.
Padahal itu
sungguh vital karena partai mengemban fungsi-fungsi strategis: selain agregasi
politik, juga menyiapkan calon-calon pemimpin.
Kalau pendidikan
politik sudah diabaikan atau bahkan seolah dinafikan, jelas partai sulit
diharapkan mampu efektif dan optimal melakukan fungsi-fungsi strategis tadi.
Peran dan fungsi partai niscaya tereduksi menjadi lebih berorientasi kepada
politik pragmatisme dan terasing dari percaturan rakyat.
Lebih menyedihkan
lagi kalau ternyata partai juga tersandera oleh misi politik pribadi sang tokoh
sentral (the godfather): niscaya peran dan fungsi partai pun terbajak. Sangat
boleh jadi, partai cenderung sekadar memperjuangkan kepentingan-kepentingan di
sekeliling sang tokoh.
Apakah itu arah
yang dituju oleh Partai Nasdem?***
Jakarta, 8
Februari 2013