08 Februari 2013

Politisi Lompat Pagar


Sejumlah politisi lompat pagar. Mereka pindah ke partai debutan untuk Pemilu 2014: Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Mereka, antara lain, Malkan Amin, Mamat Rahayu, Enggartiasto Lukita (Partai Golkar), Maiyasyak Johan (PPP), dan yang aktual Akbar Faisal (Partai Hanura).

Entah berapa banyak politisi yang pindah ke Partai Nasdem ini. Pengurus Partai Nasdem sendiri jauh-jauh hari pernah menyebutkan bahwa politisi yang sudah berkomitmen pindah menjadi kader mereka berjumlah hampir 40 orang. Mereka berasal dari semua fraksi di parlemen.

Yang menarik, sejumlah figur yang sudah resmi menyeberang ke Partai Nasdem ini memiliki reputasi lumayan sebagai politisi. Paling tidak, sosok mereka tergolong akrab di mata publik karena sering dikutip koran, majalah, media online, ataupun acap tampil di layar televisi -- entah ambil bagian dalam acara bincang-bincang (talkshow) politik, dimintai komentar atas isu-isu aktual, atau disorot sebagai vokalis dalam persidangan-persidangan di DPR.

Kepindahan sejumlah politisi kawakan ke Partai Nasdem ini merupakan fenomena menarik. Ini bukan lagi fenomena kutu loncat seperti dulu-dulu. Apa yang terjadi sekarang lebih merupakan fenomena profesionalisme politisi.

Jadi, fenomena politisi pindah ke Partai Nasdem ini bukan lagi karena alasan ideologis ataupun idealisme. Juga bukan karena alasan perjuangan, seperti karena tersingkirkan di partai lama. Mirip praktik dalam dunia bisnis, mereka lompat pagar ke Partai Nasdem tampaknya lebih karena alasan dan motif profesional. Persisnya, karena Partai Nasdem menjanjikan imbal ekonomi berupa dana Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar untuk kepentingan kampanye.

Secara formal, fenomena politisi menyeberang ke Partai Nasdem ini tidak masalah alias sah-sah saja. Tetapi secara moral dan etis, jelas fenomena itu tidak bisa dikasih jempol -- karena tujuan menghalalkan cara. Bagi politisi bersangkutan, pindah ke Partai Nasdem bukan terutama untuk memperjuangkan idealisme demi kemaslahatan rakyat. Kepindahan itu lebih karena alasan pragmatis-ekonomis pribadi mereka sendiri.

Sementara bagi Partai Nasdem sendiri, fenomena itu membuat mereka tak perlu susah-susah melakukan rekrutmen dan kaderisasi. Dengan mencomot atau menarik politisi-politisi yang sudah matang, mereka bisa berharap dapat langsung tancap gas melakukan fungsi-fungsi politik.

Tetapi itu membuat Partai Nasdem bersifat karbitan. Partai Nasdem tidak menjadi wahana pendidikan politik yang sehat.
Padahal itu sungguh vital karena partai mengemban fungsi-fungsi strategis: selain agregasi politik, juga menyiapkan calon-calon pemimpin.

Kalau pendidikan politik sudah diabaikan atau bahkan seolah dinafikan, jelas partai sulit diharapkan mampu efektif dan optimal melakukan fungsi-fungsi strategis tadi. Peran dan fungsi partai niscaya tereduksi menjadi lebih berorientasi kepada politik pragmatisme dan terasing dari percaturan rakyat.

Lebih menyedihkan lagi kalau ternyata partai juga tersandera oleh misi politik pribadi sang tokoh sentral (the godfather): niscaya peran dan fungsi partai pun terbajak. Sangat boleh jadi, partai cenderung sekadar memperjuangkan kepentingan-kepentingan di sekeliling sang tokoh.

Apakah itu arah yang dituju oleh Partai Nasdem?***

Jakarta, 8 Februari 2013