Mau tidak mau,
keputusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengabulkan permohonan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menjadi peserta Pemilu 2014 membuat
Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menanggung beban baru yang merepotkan.
Sedikit ataupun banyak, beban tersebut niscaya mengganggu penyiapan
tahapan-tahapan penyelenggaraan pesta demokrasi tahun 2014.
Dengan kata lain,
keputusan Bawaslu bersifat merecoki KPU. Jika dipatuhi, keputusan tersebut
niscaya berdampak mengintervensi keputusan KPU yang telah menetapkan bahwa
peserta pemilu terdiri atas 10 parpol plus tiga parpol lokal khsusus di DI
Aceh. Namun kalaupun tak dipatuhi, KPU tetap saja harus siap-siap menanggung
kerepotan -- karena PKPI hampir pasti tak akan pasrah begitu saja.
bagi Bawaslu
sendiri, keputusan tentang PKPI ini bersifat final dan mengikat. Bawaslu
berargumentasi, hampir semua dalil yang dimohonkan PKPI dapat diterima dan
memiliki alasan hukum.
Atas dasar itu
pula, amar putusan Bawaslu -- sepanjang menyangkut PKPI -- tegas menyatakan
membatalkan keputusan KPU tentang penetapan peserta Pemilu 2014. Bawaslu juga
memerintahkan KPU agar menerbitkan keputusan yang menetapkan PKPI sebagai
peserta Pemilu 2014.
Dengan konstruksi
seperti itu, KPU tidak punya pilihan lain kecuali melaksanakan keputusan
Bawaslu. Namun KPU sendiri belum bersikap -- apakah mereka akan tunduk-patuh
atau tidak terhadap keputusan Bawaslu ini. Yang pasti, UU No 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu tidak menempatkan KPU harus tunduk-patuh terhadap
Bawaslu.
Menurut ketentuan
perundang-undangan, tugas pokok Bawaslu adalah mengawasi penyelenggaraan pemilu
dan mencegah pelanggaran di tingkat pelaksanaan. Dengan kata lain, Bawaslu
tidak lebih sekadar wasit pelaksanaan pemilu. Sebagai wasit, Bawaslu sekadar
memberikan rekomendasi kepada KPU tentang hal-hal yang dianggap perlu dan
urgen.
Jadi, Bawaslu tak
berhak mengintervensi keputusan KPU. Itu berarti, keputusan Bawaslu membatalkan
keputusan KPU soal parpol peserta Pemilu 2014 -- dalam rangka memberi tempat
bagi PKPI -- tidak proporsional. Keputusan tersebut melampaui kewenangan yang
mereka miliki.
Justru itu,
keputusan Bawaslu ini sangat mungkin memantik konflik sekaligus menambah beban
yang merepotkan KPU. Artinya, proses penyiapan penyelenggaraan pemilu bisa
menjadi tidak mulus. Pada gilirannya, itu sangat mungkin mengganggu
tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu yang menjadi tanggung jawab KPU. Dalam
konteks ini, langkah-langkah yang sudah ditempuh KPU menjadi kacau sehingga
secara keseluruhan penyelenggaraan Pemilu 2014 pun dikhawatirkan amburadul.
Kemungkinan
seperti itu jelas tak boleh sampai terjadi. Bagaimanapun, pelaksanaan pemilu
harus terjamin terselenggara sesuai jadwal serta berlangsung lancar, tertib,
aman, dan demokratis. Pemilu yang terselenggara dengan baik dan adil adalah
garansi bagi kelangsungan kehidupan bernegara.
Karena itu,
sebagai sama-sama institusi yang mengawal pelaksanaan pemuli, Bawaslu dan KPU
mestinya bahu-membahu dan bersinergi. Jangan ada pihak yang merasa superior
dibanding pihak lain. Konflik-konflik harus dihindari karena jelas berdampak
mengganggu kenyamanan relasi kedua pihak.
Jadi, dalam
mengemban peran dan fungsi masing-masing, Bawaslu maupun KPU dituntut bekerja
profesional dan proporsional. Dengan demikian, konflik-konflik tak bakal mudah
tepercik. Hubungan kedua institusi juga tak harus diwarnai nafsu hegemoni satu
pihak terhadap pihak lain.***
Jakarta, 6
Februari 2013