Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memberi sinyal bahwa negara dan pemerintahan dalam ancaman
bahaya. Menjelang bertolak ke Jerman dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta,
dalam rangka kunjungan kenegaraan, Minggu kemarin, Presiden menyatakan bahwa
elite politik dan kelompok tertentu berencana membuat negara menjadi
gonjang-ganjing.
Pernyataan itu
sungguh terasa menyentak. Pertama, karena pernyataan tersebut dilontarkan oleh
orang nomor satu di Indonesia. Artinya, pernyataan itu punya bobot dan
kredibilitas tinggi. Terlebih, konon, pernyataan itu berdasarkan info
intelijen.
Kedua, itu tadi,
pernyataan Presiden juga bermakna negara dan pemerintahan dalam ancaman bahaya.
Nah, sekecil apa pun, bahaya yang bersifat mengancam negara tak boleh dipandang
remeh. Ancaman bahaya itu harus dimaknai bahwa negara sedang genting.
Karena itu,
Presiden dituntut berdiri di barisan paling depan memimpin upaya-upaya
penyelamatan negara. Sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, Presiden
tak bisa mengelaki tuntutan itu. Presiden wajib memimpin langsung
langkah-langkah penyelamatan negara dengan nenumpas habis ancaman itu.
Namun, anehnya,
Presiden nalah bertolak ke Jerman dalam rangka kunjungan kerja kenegaraan. Itu
serta-merta menorehkan dua kesan yang saling bertolak belakang. Pertama,
Presiden seperti tak hirau terhadap bahaya yang mengancam pemerintahan dan
negara. Seolah-olah Presiden lepas tangan dari tuntutan untuk berdiri di
barisan terdepan memimpin upaya-upaya penanganan ancaman itu.
Sikap seperti itu
jelas tidak patut. Presiden sama sekali tak patut menunjukkan sikap meremehkan
ancaman yang potensial membuat negara gonjang-ganjing. Artinya, Presiden tak
boleh bersikap seolah berkunjung ke luar negeri jauh lebih penting dan lebih
urgen ketimbang menyelamatkan negara dan pemerintahan dari ancaman bahaya.
Kesan kedua,
ancaman manuver politik kelompok tertentu itu sebenarnya tak terbilang gawat,
sehingga Presiden pun tak merasa risau bertolak ke luar negeri. Boleh jadi,
ancaman itu sekadar riak-riak dinamika politik yang sama sekali tidak punya
potensi membuat negara mengalami gonjang-ganjing. Artinya, negara sebenarnya
sama sekali tidak dalam kondisi gawat bin genting.
Justru itu,
pernyataan Presiden -- bahwa negara terancam manuver politik kelompok tertentu
sehingga potensial mengalami gonjang-ganjing -- seketika menjadi kehilangan
bobot dan kredibilitas. Presiden jadi seperti melebih-lebihkan persoalan alias
-- meminjam istilah anak muda sekarang -- bersikap lebai.
Bukan sekali ini
saja Presiden menunjukkan sikap itu. Dalam sejumlah kasus, Presiden
terang-benderang terlihat lebai. Sekadar mengingatkan, Presiden antara lain
pernah menyatakan menjadi target pembunuhan kelompok teroris. Dalam konferensi
pers khusus, pernyataan itu bahkan dilengkapi dengan gambar kepala Presiden
dalam lingkaran garis target penembakan.
Dalam kesempatan
lain, Presiden juga pernah menyatakan bahwa kelompok teroris nyaris mengirim
paket bom ke kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor. Di kesempatan lain lagi,
Presiden juga mengaku menerima banyak SMS yang berisi ancaman terhadap
keselamatan dirinya beserta Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Mungkin saja
info-info seperti itu benar diterima Presiden. Tetapi jika info-info itu
diobral ke tengah publik, maka kesan lebai menjadi tak terelakkan. Terlebih
lagi obral info itu di tengah Presiden dalam situasi terpojok. Sama seperti
sekarang ketika Presiden menghadapi peliknya prahara yang melanda Partai
Demokrat.***
Jakarta, 3 Maret
2013