03 Maret 2013

Ancaman Gonjang-ganjing

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi sinyal bahwa negara dan pemerintahan dalam ancaman bahaya. Menjelang bertolak ke Jerman dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, dalam rangka kunjungan kenegaraan, Minggu kemarin, Presiden menyatakan bahwa elite politik dan kelompok tertentu berencana membuat negara menjadi gonjang-ganjing.

Pernyataan itu sungguh terasa menyentak. Pertama, karena pernyataan tersebut dilontarkan oleh orang nomor satu di Indonesia. Artinya, pernyataan itu punya bobot dan kredibilitas tinggi. Terlebih, konon, pernyataan itu berdasarkan info intelijen.

Kedua, itu tadi, pernyataan Presiden juga bermakna negara dan pemerintahan dalam ancaman bahaya. Nah, sekecil apa pun, bahaya yang bersifat mengancam negara tak boleh dipandang remeh. Ancaman bahaya itu harus dimaknai bahwa negara sedang genting.

Karena itu, Presiden dituntut berdiri di barisan paling depan memimpin upaya-upaya penyelamatan negara. Sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, Presiden tak bisa mengelaki tuntutan itu. Presiden wajib memimpin langsung langkah-langkah penyelamatan negara dengan nenumpas habis ancaman itu.

Namun, anehnya, Presiden nalah bertolak ke Jerman dalam rangka kunjungan kerja kenegaraan. Itu serta-merta menorehkan dua kesan yang saling bertolak belakang. Pertama, Presiden seperti tak hirau terhadap bahaya yang mengancam pemerintahan dan negara. Seolah-olah Presiden lepas tangan dari tuntutan untuk berdiri di barisan terdepan memimpin upaya-upaya penanganan ancaman itu.

Sikap seperti itu jelas tidak patut. Presiden sama sekali tak patut menunjukkan sikap meremehkan ancaman yang potensial membuat negara gonjang-ganjing. Artinya, Presiden tak boleh bersikap seolah berkunjung ke luar negeri jauh lebih penting dan lebih urgen ketimbang menyelamatkan negara dan pemerintahan dari ancaman bahaya.

Kesan kedua, ancaman manuver politik kelompok tertentu itu sebenarnya tak terbilang gawat, sehingga Presiden pun tak merasa risau bertolak ke luar negeri. Boleh jadi, ancaman itu sekadar riak-riak dinamika politik yang sama sekali tidak punya potensi membuat negara mengalami gonjang-ganjing. Artinya, negara sebenarnya sama sekali tidak dalam kondisi gawat bin genting.

Justru itu, pernyataan Presiden -- bahwa negara terancam manuver politik kelompok tertentu sehingga potensial mengalami gonjang-ganjing -- seketika menjadi kehilangan bobot dan kredibilitas. Presiden jadi seperti melebih-lebihkan persoalan alias -- meminjam istilah anak muda sekarang -- bersikap lebai.

Bukan sekali ini saja Presiden menunjukkan sikap itu. Dalam sejumlah kasus, Presiden terang-benderang terlihat lebai. Sekadar mengingatkan, Presiden antara lain pernah menyatakan menjadi target pembunuhan kelompok teroris. Dalam konferensi pers khusus, pernyataan itu bahkan dilengkapi dengan gambar kepala Presiden dalam lingkaran garis target penembakan.
    
Dalam kesempatan lain, Presiden juga pernah menyatakan bahwa kelompok teroris nyaris mengirim paket bom ke kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor. Di kesempatan lain lagi, Presiden juga mengaku menerima banyak SMS yang berisi ancaman terhadap keselamatan dirinya beserta Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Mungkin saja info-info seperti itu benar diterima Presiden. Tetapi jika info-info itu diobral ke tengah publik, maka kesan lebai menjadi tak terelakkan. Terlebih lagi obral info itu di tengah Presiden dalam situasi terpojok. Sama seperti sekarang ketika Presiden menghadapi peliknya prahara yang melanda Partai Demokrat.***

Jakarta, 3 Maret 2013