05 Maret 2013

Sinyal Buruk Ekonomi AS


Berbagai media global awal pekan ini menyajikan laporan yang mengundang miris: resesi ekonomi menghantui kembali ekonomi Amerika Serikat (AS). Ini merupakan risiko tak terhindarkan setelah Presiden Barack Obama menandatangani pengurangan anggaran pemerintah dalam jumlah sangat signifikan: 85 miliar dolar AS atau sekitar Rp 830 triliun.

Tanda tangan dibubuhkan Presiden Obama, menyusul kebuntuan negosiasi di Kongres menyangkut upaya untuk mempertahankan defisit anggaran yang diperlukan guna membuat ekonomi AS tidak melambat atau terseret ke arah resesi.

Memang, pemangkasan pengeluaran itu lebih banyak menyangkut sektor pertahanan dan militer AS. Meski begitu, ekonomi AS sangat mungkin menjadi makin buruk. Konsumsi masyarakat, misalnya, bisa kian melemah karena pemangkasan pengeluaran senilai 85 miliar dolar AS bisa berakibat setidaknya 700.000 warga AS kehilangan pekerjaan.

Di sisi lain, kegiatan investasi -- notabene mestinya menjadi motor penggerak ekonomi -- juga sangat mungkin melunglai. Padahal, dengan beban utang sebesar 16,4 triliun dolar AS, sebelum pemangkasan pengeluaran pemerintah saja kondisi ekonomi AS sudah jeblok. Karena itu pula, Standard & Poor's menurunkan peringkat utang AS dari AAA menjadi AA+.

Artinya, bagi kalangan pemilik modal, ekonomi AS tidak menjanjikan. Wajar jika kemudian mereka menahan diri menabur modal di AS. Sebagai akibatnya, tentu, ekonomi negara tersebut kehilangan daya penghela. Konsekuensinya, itu tadi: resesi ekonomi semakin pekat menyaput AS -- kecuali, barangkali, jika pintu negosiasi di Kongres terbuka kembali dan formula untuk mempertahankan defisit anggaran bisa disepakati.

Bagi Indonesia, kondisi ekonomi AS yang pekat dihantui resesi itu merupakan sinyal buruk. Kegiatan ekspor ke negara itu, terutama, niscaya semakin tidak bergairah. Pemintaan yang kian melemah bagaimanapun sulit membuat ekspor bisa berkibar-kibar.

Sinyal buruk itu sungguh patut ditanggapi pemerintah secara serius dengan melakukan langkah-langkah strategis-antisipatif. Jika tidak, ekonomi nasional niscaya bisa terkena imbas resesi AS seperti saat krisis surat berharga perumahan di AS meledak pada tahun 2008 silam. Maklum, karena selama ini AS telanjur menjadi mitra utama ekonomi Indonesia.

Langkah-langkah strategis di bidang ekonomi makin urgen dilakukan pemerintah karena kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan sekarang ini juga memprihatinkan. Tahun lalu, untuk kali pertama sejak beberapa dekade terakhir, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Artinya, ekspor lebih kecil ketimbang impor.

Defisit dalam neraca perdagangan bisa tertoreh terutama karena negara-negara mitra utama Indonesia -- acap disebut sebagai pasar tradisional ekspor -- masih dilanda kelesuan ekonomi. Dalam konteks ini, sejumlah komoditas andalan ekspor Indonesia rontok secara mengenaskan.

Defisit dalam neraca perdagangan tak boleh terus berlangsung. Di satu sisi, karena defisit itu bisa berisiko membuka jalan menuju kebangkrutan ekonomi nasional. Di sisi lain, karena ekonomi AS sebagai pasar tradisional ekspor Indonesia memperlihatkan sinyal buruk.

Untuk itu, diversifikasi pasar ekspor semakin urgen. Kesadaran pemerintah untuk memutus ketergantungan ekspor terhadap pasar tradisional seperti AS sudah saatnya diwujudkan dalam program aksi yang nyata. Sejalan dengan itu, ekspor nasional jangan lagi ditumpukan kepada komoditas primer. Mengingat manfaat ekonomi yang bersifat jamak, bagaimanapun produk-produk manufaktur harus bisa menjadi andalan baru ekspor. Tapi itu hanya mungkin jika daya saing produk ditingkatkan dan promosi digalakkan, terutama di pasar ekspor nontradisional.***

Jakarta, 5 Maret 2013