Berbagai media
global awal pekan ini menyajikan laporan yang mengundang miris: resesi ekonomi
menghantui kembali ekonomi Amerika Serikat (AS). Ini merupakan risiko tak
terhindarkan setelah Presiden Barack Obama menandatangani pengurangan anggaran
pemerintah dalam jumlah sangat signifikan: 85 miliar dolar AS atau sekitar Rp
830 triliun.
Tanda tangan
dibubuhkan Presiden Obama, menyusul kebuntuan negosiasi di Kongres menyangkut
upaya untuk mempertahankan defisit anggaran yang diperlukan guna membuat
ekonomi AS tidak melambat atau terseret ke arah resesi.
Memang,
pemangkasan pengeluaran itu lebih banyak menyangkut sektor pertahanan dan
militer AS. Meski begitu, ekonomi AS sangat mungkin menjadi makin buruk.
Konsumsi masyarakat, misalnya, bisa kian melemah karena pemangkasan pengeluaran
senilai 85 miliar dolar AS bisa berakibat setidaknya 700.000 warga AS
kehilangan pekerjaan.
Di sisi lain,
kegiatan investasi -- notabene mestinya menjadi motor penggerak ekonomi -- juga
sangat mungkin melunglai. Padahal, dengan beban utang sebesar 16,4 triliun
dolar AS, sebelum pemangkasan pengeluaran pemerintah saja kondisi ekonomi AS
sudah jeblok. Karena itu pula, Standard & Poor's menurunkan peringkat utang
AS dari AAA menjadi AA+.
Artinya, bagi
kalangan pemilik modal, ekonomi AS tidak menjanjikan. Wajar jika kemudian
mereka menahan diri menabur modal di AS. Sebagai akibatnya, tentu, ekonomi
negara tersebut kehilangan daya penghela. Konsekuensinya, itu tadi: resesi
ekonomi semakin pekat menyaput AS -- kecuali, barangkali, jika pintu negosiasi
di Kongres terbuka kembali dan formula untuk mempertahankan defisit anggaran
bisa disepakati.
Bagi Indonesia,
kondisi ekonomi AS yang pekat dihantui resesi itu merupakan sinyal buruk.
Kegiatan ekspor ke negara itu, terutama, niscaya semakin tidak bergairah.
Pemintaan yang kian melemah bagaimanapun sulit membuat ekspor bisa
berkibar-kibar.
Sinyal buruk itu
sungguh patut ditanggapi pemerintah secara serius dengan melakukan
langkah-langkah strategis-antisipatif. Jika tidak, ekonomi nasional niscaya
bisa terkena imbas resesi AS seperti saat krisis surat berharga perumahan di AS
meledak pada tahun 2008 silam. Maklum, karena selama ini AS telanjur menjadi
mitra utama ekonomi Indonesia.
Langkah-langkah
strategis di bidang ekonomi makin urgen dilakukan pemerintah karena kinerja
ekspor Indonesia secara keseluruhan sekarang ini juga memprihatinkan. Tahun
lalu, untuk kali pertama sejak beberapa dekade terakhir, neraca perdagangan
Indonesia mengalami defisit. Artinya, ekspor lebih kecil ketimbang impor.
Defisit dalam
neraca perdagangan bisa tertoreh terutama karena negara-negara mitra utama
Indonesia -- acap disebut sebagai pasar tradisional ekspor -- masih dilanda
kelesuan ekonomi. Dalam konteks ini, sejumlah komoditas andalan ekspor
Indonesia rontok secara mengenaskan.
Defisit dalam
neraca perdagangan tak boleh terus berlangsung. Di satu sisi, karena defisit
itu bisa berisiko membuka jalan menuju kebangkrutan ekonomi nasional. Di sisi
lain, karena ekonomi AS sebagai pasar tradisional ekspor Indonesia
memperlihatkan sinyal buruk.
Untuk itu,
diversifikasi pasar ekspor semakin urgen. Kesadaran pemerintah untuk memutus
ketergantungan ekspor terhadap pasar tradisional seperti AS sudah saatnya
diwujudkan dalam program aksi yang nyata. Sejalan dengan itu, ekspor nasional
jangan lagi ditumpukan kepada komoditas primer. Mengingat manfaat ekonomi yang
bersifat jamak, bagaimanapun produk-produk manufaktur harus bisa menjadi
andalan baru ekspor. Tapi itu hanya mungkin jika daya saing produk ditingkatkan
dan promosi digalakkan, terutama di pasar ekspor nontradisional.***
Jakarta, 5 Maret
2013