31 Maret 2005

Moratorium, Kenapa Tidak?

Bencana gempa bumi yang melanda Pulau Nias (Sumut), Senin malam lalu, jelas luar biasa. Dari segi kekuatan, gempa tersebut tercatat mencapai 8,2 pada skala Richter. Justru itu, gempa yang melanda Nias ini tak kalah dahsyat dibanding gempa yang akhir tahun lalu juga menggoyang Aceh (juga Nias) -- notabene diikuti gelombang pasang tsunami. Konon, gempa yang Senin malam lalu mengoyak Nias juga termasuk 10 gempa terdahsyat di dunia dalam 100 tahun terakhir.

Dari segi dampak yang ditimbulkan, gempa itu juga luar biasa. Sejumlah orang meninggal dan lebih banyak lagi yang menderita luka-luka. Di luar itu, sekian banyak bangunan roboh atau ambruk hingga rata dengan tanah. Bahkan ibukota Kabupaten Nias, Gunung Sitoli, nyaris musnah karena sebagian besar bangunan di kota tersebut hancur digoyang gempa.

Nilai kerugian ekonomi, jelas amat besar. Tak bisa tidak, karena itu, pemerintah pun lagi-lagi dihadapkan pada tantangan tidak kecil dan amat mendesak. Seperti saat menghadapi bencana yang melanda Aceh, kali ini pemerintah juga harus mengalokasikan dana dalam jumlah besar bagi penanganan dampak gempa -- khususnya berupa program rekonstruksi.

Padahal kemampuan keuangan pemerintah sungguh amat terbatas. Bahkan boleh dikatakan, pemerintah sudah tak memiliki lagi kemampuan. Pemerintah tak punya dana besar yang khusus bisa disalurkan bagi keperluan rekonetruksi di Nias ini. Bahkan sekadar untuk menutup defisit anggaran yang telanjur menganga lebar dalam APBN pun, pemerintah kini amat kerepotan.

Justru itu, amat mengherankan ketika pemerintah -- khususnya Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati -- serta-merta menepiskan kemungkinan meminta tambahan fasilitas penangguhan (moratorium) pembayaran utang kepada kalangan kreditor yang tergabung dalam wadah informal Paris Club. Tak jelas benar alasan yang mendasari sikap Sri Mulyani ini.

Tapi Sri Mulyani memang termasuk pejabat tinggi yang terkesan "alergi" terhadap moratorium utang. Bahkan, andai tidak didesak banyak kalangan, moratorium utang yang ditawarkan kalangan kreditor dalam konteks rekonstruksi Aceh pun mungkin tak bisa kita nikmati.

Sri Mulyani dan beberapa pejabat tinggi lain "alergi" terhadap moratorium utang karena mereka khawatir fasilitas tersebut menghembuskan sentimen negatif terhadap ekonomi nasional. Padahal itu ternyata lebih merupakan ketakutan mereka sendiri. Buktinya, moratorium dalam konteks rekonstruksi Aceh tak melahirkan sentimen apa pun.

Boleh jadi, pemerintah lebih menyandarkan soal dana bagi rekonstruksi di Nias ini pada bantuan spontan masyarakat maupun uluran tangan dunia internasional. Memang, dunia internasional sendiri sudah langsung menunjukkan kepedulian dan komit membantu penanggulangan dampak gempa di Nias ini.

Tapi sungguh menggetirkan jika kenyataan itu justru dijadikan andalan. Bayangkan, persoalan bangsa malah disandarkan pada belas kasih pihak lain! Padahal pemerintah sendiri masih memiliki ruang gerak untuk menjawab tantangan rekonstruksi Nias ini, yakni dengan meminta moratorium tambahan terhadap kalangan kreditor anggota Paris Club.

Kalangan kreditor sendiri mungkin tidak sulit untuk dimintai moratorium tambahan. Seperti dalam konteks kebutuhan rekonstruksi Aceh tempo hari, mereka niscaya menyadari betul bahwa kemampuan pemerintah untuk membangun kembali Nias sungguh terbatas. Jadi, kenapa tidak meminta moratorium tambahan?***
Jakarta, 31 Maret 2005

Tidak ada komentar: