07 April 2005

Efektivitas Bunga SBI

Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam hitungan lumayan signifikan. Untuk SBI berjangka waktu satu bulan, kenaikan itu mencapai sembilan basis poin dari 7,44 persen menjadi 7,53 persen. Sementara SBI tiga bulan naik 20 basis poin dari 7,31 persen menjadi 7,51 persen.

Langkah BI menaikkan bunga SBI ini sebagai reaksi sekaligus antisipasi terhadap laju inflasi mulai menghawatirkan. Maret kemarin, inflasi memang melonjak sebesar 1,91 persen. Dengan itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat bahwa laju inflasi pada tahun kalender (Januari-Maret) mencapai 3,19 persen. Sementara tingkat inflasi selama Maret 2005 hingga Maret 2004 (year on year) 8,81 persen.

Laju inflasi yang dipicu oleh keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Maret lalu itu mengkhawatirkan karena amat potensial menggelinding terus bak bola salju. BI sendiri memperkirakan bahwa faktor kenaikan harga BBM, jika tak dilakukan langkah antisipasi, bisa melejitkan inflasi hingga mencapai 7,15 persen.

Angka itu jelas konservatif. Artinya, bisa saja pada akhir tahun tingkat inflasi ini ternyata jauh melampaui 7,15 persen. Padahal pemerintah menargetkan bahwa tingkat inflasi sepanjang tahun ini hanya berkisar 5-7 persen. Karena itu pula, boleh jadi, BI masih akan mendongkrak bunga SBI hingga ke level yang dianggap masih aman dan efektif menahan laju inflasi.

Kita setuju bahwa laju inflasi memang harus bisa tetap terkendali dalam batas-batas aman. Bagaimanapun, ibarat virus atau parasit, inflasi yang tak terkendali bisa berbahaya: menggerogoti atau bahkan meruntuhkan kemampuan ekonomi nasional.

Karena itu, kita memahami niat dan upaya BI mengendalikan inflasi melalui peningkatan bunga SBI ini. Cuma menjadi pertanyaan: apakah langkah itu bisa diandalkan efektif mencapai sasaran? Juga, apakah kenaikan bunga SBI ini tidak melahirkan dampak negatif atau ekses terhadap kehidupan ekonomi makro maupun mikro?

Menurut teori, inflasi tertoreh karena permintaan masyarakat akan barang dan jasa meningkat. Tapi, tampaknya, teori tersebut tidak menjadi faktor yang menjelaskan laju inflasi yang sekarang ini sudah menunjukkan gelagat mengkhawatirkan. Inflasi melejit, sebagaimana terjadi pada Maret kemarin, bukan karena permintaan di masyarakat meningkat. Sebagaimana sudah disinggung di muka, kenaikan inflasi itu lebih faktor harga BBM yang membuat aneka barang dan jasa naik signifikan.

Celakanya, kenaikan harga aneka barang dan jasa itu tidak sepenuhnya obyektif akibat faktor harga BBM yang membuat biaya atau ongkos produksi barang dan jasa menjadi naik. Lonjakan harga barang dan jasa pascakenaikan harga BBM tampaknya justru lebih karena faktor psikologis. Paling tidak, itu gamblang tercermin pada tingkat kenaikan harga barang dan jasa yang tidak berbanding lurus dengan tingkat kenaikan harga BBM.

Karena itu, kita khawatir kenaikan bunga SBI pun tidak cukup ampuh menahan laju inflasi. Sementara, di sisi lain, kenaikan bunga SBI justru melahirkan kondisi-kondisi tertentu yang tak kurang mengundang riskan. Sebut saja, bunga kredit perbankan niscaya terkerek naik. Itu bukan saja membuat sektor riil kian kesulitan, melainkan juga bisa meningkatkan risiko kredit macet di perbankan nasional.

Kalau begitu, mungkin langkah yang lebih bisa diharapkan berdaya guna untuk mengerem inflasi ini adalah pengendalian pasar agar tidak jor-joran mendongkrak harga aneka barang, terutama, dengan memanfaatkan faktor harga BBM sebagai pembenaran.***
Jakarta, 7 April 2005

Tidak ada komentar: