27 April 2005

Tak Peduli Nasib PIM

Jelas sudah bahwa pemerintah berlepas tangan terhadap nasib PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang saat ini dililit kesulitan menyangkut pasokan bahan baku gas. Pemerintah sama sekali tak menunjukkan kepedulian terhadap kelangsungan hidup BUMN yang beroperasi di Nanggroe Aceh Darussalam itu.

Menko Perekonomian Aburizal (Ical) Bakrie kemarin kembali menyatakan bahwa pemerintah tak akan membantu PIM dalam mengatasi kesulitan yang mereka hadapi saat ini. Bahkan Ical menyiratkan, kalaupun ternyata kesulitan itu akhirnya menyeret PIM ke lubang kematian, pemerintah tetap tak mau tahu. Mungkin juga pemerintah tak merasa perlu menyesali kematian itu.

Tampaknya, dalam konteks PIM ini, pemerintah memang menerapkan hukum rimba (survival of the fittest). Artinya, pemerintah sama sekali tak mau tahu -- dan karena itu tak akan campur tangan -- terhadap persoalan hidup-mati PIM di tengah kesulitan memperoleh pasokan gas ini.

Justru itu, jika memang kuat menghadapi masalah tadi, PIM niscaya mampu bertahan hidup. Sebaliknya jika tak sanggup menanggung kesulitan itu, PIM harus rela menelan risiko masuk kubur!

Sikap demikian jelas amat tidak fair. Pertama, karena selama ini pemerintah sudah begitu habis-habisan berupaya menyelamatkan sejumlah perusahaan raksasa milik kalangan konglomerat yang tempo hari terancam bangkrut saat diterpa krisis ekonomi. Bahkan terhadap sejumlah bank, pemerintah sampai menginjeksikan dana ratusan triliun rupiah dalam bentuk obligasi rekap. Karena itu, kenapa kini pemerintah tak menunjukkan kepedulian serupa terhadap PIM?

Kedua, sebagai pemilik, pemerintah sebenarnya dituntut menunjukkan kepedulian besar terhadap kelangsungan hidup PIM ini -- juga BUMN lain yang nyata-nyata dirundung kesulitan. Pemerintah sama sekali tak bisa begitu saja berlepas tangan atau tak mau tahu terhadap kesulitan yang sudah mengancam kelangsungan hidup BUMN. Terlebih jika kesulitan itu sendiri bukan karena faktor internal semacam ketidakbecusan pihak manajemen, misalnya.

Bahkan kesulitan yang kini dihadapi PIM sendiri sebenarnya jelas merupakan dampak kebijakan salah kaprah pemerintah di masa lalu. Persisnya, pemerintah tidak mewajibkan kalangan produsen gas memberi prioritas besar terhadap kebutuhan di dalam negeri, khususnya industri pupuk nasional. Karena itu, pasokan gas di dalam negeri -- termasuk ke industri strategis seperti pabrik pupuk -- tak senantiasa terjaga.

Walhasil, selama ini kalangan produsen gas amat leluasa menjual produk mereka ke pasar ekspor. Bahkan karena harga gas di pasar internasional amat menggiurkan, mereka tak segan-segan meneken kontrak jangka panjang penjualan dengan kalangan pembeli di luar negeri. Karena itu, pasokan gas di dalam negeri sendiri menjadi amat tipis.

Kenyataan itu pula yang membuat keberadaan industri pupuk di dalam negeri sebenarnya amat rentan. Sewaktu-waktu mereka bisa mengalami kesulitan serupa dengan apa yang kini dihadapi PIM. Padahal keberadaan industri pupuk ini amat strategis. Sejak awal, memang, industri pupuk dibangun dalam rangka mendukung sektor pertanian dan perkebunan di dalam negeri.

Jadi, kenapa pemerintah tak menunjukkan kepedulian terhadap nasib PIM yang kini terancam masuk kubur akibat kesulitan memperoleh bahan baku gas? Ataukah itu cerminan bahwa sektor pertanian dan perkebunan tak lagi dianggap pilar strategis ekonomi nasional?***
Jakarta, 27 April 2005

Tidak ada komentar: