26 April 2005

Perjanjian RI-China

Hubungan bilateral Indonesia dan China selangkah lebih jauh lagi. Senin kemarin, dalam rangka kunjungan Presiden China Hu Jintao ke Indonesia, kedua pemerintahan menandatangani perjanjian kerja sama di sejumlah bidang -- antara lain perdagangan.

Dibanding bidang-bidang lain, perdagangan Indonesia dan China amat terasa menggelitik. Ini terutama karena ekspansi produk-produk China ke negeri kita selama ini sungguh dahsyat. Berbagai produk yang mereka hasilkan -- mulai dari alat rumah tangga, tekstil, sampai produk teknologi tinggi seperti elektronika dan otomotif -- terus menggempur pasar kita dengan intensitas yang semakin meningkat.

Karena itu pula, neraca perdagangan Indonesia-China kini berubah. Setelah bertahun-tahun sejak hubungan diplomatik kedua negara dibuka kembali, mulai tahun ini China mampu mencatat surplus dalam berhubungan dagang dengan kita. Itu berarti, dalam bahasa lugas, kita sudah keteteran dalam berhubungan dagang dengan China ini.

Boleh jadi, selama ini pun sebenarnya neraca perdagangan Indonesia dengan China sudah menorehkan defisit bagi kita. Maklum karena gempuran produk-produk China ke pasar dalam negeri tidak melulu melalui jalur formal. Diakui ataupun tidak, banyak pula produk China menghambur ke pasar lokal melalui modus penyelundupan.

Namun tanpa melalui jalur masuk ilegal pun, produk-produk China amat bersaing. Bahkan boleh dikatakan, produk-produk mereka murah meriah dengan mutu dan desain memikat. Jadi, jangankan melalui modus penyelundupan, masuk melalui jalur resmi pun produk-produk China sudah memiliki daya penetrasi hebat.

Walhasil, kalau melulu melihat dari sudut pandang itu, perjanjian peningkatan perdagangan Indonesia dan China jelas lebih potensial menguntungkan China. Dalam skala makro, itu bisa membuat neraca perdagangan Indonesia-China semakin pasti menorehkan surplus di pihak China dengan besaran yang terus membengkak.

Sementara dalam skala mikro, perjanjian peningkatan perdagangan Indonesia-China ini amat boleh jadi merupakan lonceng kematian bagi industri nasional yang menghasilkan produk-produk sejenis dengan produk yang diekspor China ke Indonesia. Itu tak lain karena produk mereka niscaya sulit sekali mampu bersaing dengan produk China yang begitu murah meriah.

Namun kita tak selayaknya bersikap pesimistis. Perjanjian peningkatan perdagangan Indonesia-China lebih baik kita hadapi sebagai tantangan sekaligus peluang.

Sebagai peluang, perjanjian itu menawarkan negeri China sebagai sebuah pasar yang luar biasa besar. Dengan penduduk sekitar 1,4 miliar jiwa, China adalah pasar raksasa. Justru itu, menjadi tantangan bagi kita untuk bisa masuk lebih dalam ke pasar China ini. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia-China tidak melahirkan defisit bagi kita dalam bilangan yang semakin jomplang.

Untuk itu, jelas kita harus melakukan pembenahan mendasar. Di sisi pemerintah, pembenahan terutama menyangkut perilaku birokrasi agar tidak lagi menjadi sumber ekonomi biaya tinggi bagi dunia usaha. Untuk itu, kita perlu belajar pada China yang sukses memberantas praktik korupsi maupun pungutan liar di tubuh birokrasi.

Di lain pihak, dunia usaha nasional sendiri juga perlu konsisten menerapkan asas-asas efisiensi produksi. Dalam konteks ini, konsep good corporate governance harus menjadi pijakan sehari-hari.***
Jakarta, 26 April 2005

Tidak ada komentar: