10 April 2005

Utang Pengusaha

Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami yang menerjang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada akhir tahun lalu nyaris melumpuhkan kegiatan ekonomi di daerah itu. Meski hampir tiga bulan telah berlalu, kini belum juga terlihat tanda-tanda bahwa kehidupan ekonomi di NAD ini segera pulih kembali seperti sedia kala.

Apa boleh buat, simpul-simpul ekonomi telanjur rusak. Jajaran pelaku usaha, dalam kaitan ini, praktis sudah tak berdaya. Jangankan untuk segera bangkit kembali, bahkan untuk sekadar bisa bertahan hidup (survive) pun mereka sudah kesulitan.

Karena itu, tanpa keterlibatan pemerintah, kehidupan ekonomi di NAD sulit diharapkan bisa segera pulih dan normal kembali. Paling tidak hingga satu atau dua tahun ke depan, ekonomi NAD mungkin tetap terkondisi tanpa daya. Itu jelas tidak sehat -- bahkan berbahaya bagi kehidupan di NAD dalam arti luas ke depan ini. NAD yang tak segera bisa pulih berisiko membuat daerah tersebut makin jauh berkubang dalam kemiskinan dan kesengsaraan dengan segala problem ikutannya.

Jadi, keterlibatan pemerintah dalam proses pemulihan NAD ini sungguh mutlak. Cuma, itu tak cukup diwujudkan lewat program rehabilitasi dan rekonstruksi yang lebih bersifat fisik. Bagaimanapun, langkah tersebut perlu dibarengi dengan program lain yang langsung mengarah pada pemberdayaan kembali kehidupan ekonomi di daerah itu.

Dengan demikian, proses pemulihan kondisi fisik bisa berlangsung paralel dengan kebangkitan kegiatan ekonomi. Dengan itu pula, tentu, gairah kehidupan sosial masyarakat Aceh pun ikut terbangkitkan dalam hitungan relatif lebih cepat.

Dalam kerangka seperti itu pula, kami amat menghargai niat atau keinginan pemerintah memberikan fasilitas penghapusan utang bagi jajaran pengusaha yang selama ini menjalankan kegiatan bisnis di NAD. Kami berpandangan, fasilitas tersebut sungguh bisa diharapkan mampu menjadi suntikan "darah segar" yang serta-merta membangkitkan gairah baru di kalangan pengusaha NAD yang sekarang ini telanjur terpuruk dalam kebangkrutan.

Menurut Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati, fasilitas penghapusan utang pengusaha di NAD ini akan dimasukkan dalam rencana induk (master plan) rehabilitasi dan rekonstruksi NAD. Selanjutnya, rencana itu akan dibahas mendalam oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Tentu, itu karena penghapusan utang terkait erat dengan kredit perbankan yang menjadi kewajiban pengusaha selaku debitur.

Menurut sebuah perkiraan, kredit macet di kalangan pengusaha di NAD akibat bencana gempa dan tsunami bernilai sekitar Rp 1,8 triliun. Ditambah dengan pengembalian atau pemulihan aset-aset produktif -- sesuatu yang juga menjadi kebutuhan mutlak --, mungkin nilai utang yang perlu memperoleh fasilitas penghapusan dalam rangka pemulihan kembali ekonomi NAD ini sekitar Rp 3 triliun hingga Rp 4 triliun.

Lumayan besar, memang. Justru itu, jika tak hati-hati, program penghapusan utang bagi pengusaha di NAD yang menjadi korban gempa dan tsunami ini bisa menjadi "bancakan" oknum-oknum. Ujung-ujungnya, jelas: program tersebut gagal mencapai sasaran. Konsekuensinya pun terang-benderang: proses pemulihan ekonomi NAD bisa terhambat.

Fasilitas "gurih" seperti penghapusan utang memang sangat rawan diwarnai moral hazard. Fasilitas tersebut sangat menggoda pihak-pihak yang memiliki akses untuk menyelewengkannya demi keuntungan mereka sendiri. Banyak kasus bisa menjadi pelajaran tentang itu.

Tak bisa tidak, karena itu, mekanisme penghapusan utang ini harus benar-benar menutup berbagai celah yang bisa melahirkan moral hazard. Jika tidak, lebih baik lupakan saja program tersebut!
Jakarta, 10 April 2005

Tidak ada komentar: