03 Mei 2005

Setelah Toemion Mundur

Theo F Toemion mengundurkan diri dari jabatannya selaku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Orang mungkin saja menilai itu sebagai langkah cerdik Toemion untuk menyelamatkan muka -- karena pemerintah sendiri sudah memastikan segera mencopotnya.

Masa jabatan Toemion sendiri baru sekitar 3 tahun. Lazimnya, masa jabatan Kepala BKPM ini minimal 5 tahun. Jadi, seharusnya, Toemion masih menjabat Kepala BKPM hingga 2 tahun lagi.

Tapi pemerintah sudah memutuskan bahwa Toemion segera dilengserkan. Konon, itu terkait dengan kinerja Toemion sendiri selama ini dalam memimpin BKPM. Dalam konteks ini, pemerintah disebut-sebut sudah melakukan penilaian selama 3 bulan terakhir.

Hanya, itu tadi, sebelum pemerintah mengeluarkan putusan resmi, Toemion lebih dulu bergerak: mengajukan permohonan mengundurkan diri. Ini memang sungguh langkah cerdik. Dengan mengundurkan diri, Toemion bukan saja luput menjadi pecundang (dilengserkan). Lebih dari itu, Toemion justru sukses menumbuhkan kesan positif di depan publik bahwa dia adalah sosok elegan karena berani menanggalkan jabatan penting. Terlebih lagi, sebagai alasan, dia menyebutkan bahwa keputusan itu merupakan wujud pertanggungjawaban moralnya atas kasus pemukulan yang dia lakukan di lingkungan Jakarta International School.

Dalam tata kehidupan sosial, memang, mengundurkan diri terasa lebih bermartabat ketimbang dicopot atau dilengserkan. Terlebih kalau itu menyangkut jabatan publik seperti Kepala BKPM. Jika diberhentikan, orang bersangkutan serta-merta menjadi pecundang -- karena masa jabatannya jelas belum berakhir. Justru itu, publik pun terkondisi beroleh kesan negatif: bahwa sang pejabat bermasalah atau minimal tidak berprestasi.

Namun di Indonesia umumnya orang enggan mengundurkan diri dari jabatan yang sedang mereka sandang. Sepertinya mereka tidak memiliki keberanian untuk itu. Meski kondisi tertentu nyata-nyata menuntut pertanggungjawaban moral dengan meletakkan jabatan, mereka tetap saja enggan. Bahkan sampai didesak publik sekalipun, mereka bergeming. Mereka seperti buta dan tuli. Berbagai dalih -- meski amat klise sekalipun -- tak segan mereka obral sebagai pembenaran untuk terus mengukuhi jabatannya.

Sekilas, mereka lebih memilih risiko dicopot ketimbang mengundurkan diri atas inisiatif sendiri dalam rangka memberi pertanggungjawaban moral terhadap kondisi tertentu ini. Tapi, celakanya, pihak yang menjadi atasan justru lebih banyak menunjukkan sikap toleran terhadap kesalahan pejabat yang menjadi bawahannya. Paling-paling sang atasan merasa cukup sekadar memberikan peringatan.

Karena itu, di Indonesia jarang sekali pejabat publik meletakkan jabatan. Kalaupun terjadi, itu lebih banyak bukan sebagai wujud pertanggungjawaban moral pejabat bersangkutan terhadap kondisi tertentu. Di Indonesia, biasanya pejabat publik mengundurkan diri karena terlibat konflik di lingkungannya. Atau bisa juga karena mereka mendapat job lain yang lebih menggiurkan.

Atas dasar itu pula, orang boleh saja menilai keputusan Toemion mengundurkan diri sebagai Kepala BKPM merupakan langkah cerdik -- betapapun andai penilaian itu disertai dengan sikap nyinyir. Tapi bagi kami, langkah Toemion patut menjadi awal budaya baru pertanggungjawaban moral pejabat publik terhadap kondisi tertentu yang tidak elok dan mengundang cela.***
Jakarta, 03 Mei 2005

Tidak ada komentar: