11 Mei 2005

Pembagian Bonus PLN

Bonus telah lama kita kenal sebagai hadiah. Dalam dunia korporasi, bonus lazim diberikan sebagai wujud penghargaan terhadap mereka yang mengukir prestasi atau kondisi tertentu yang menguntungkan institusi perusahaan. Jadi, selama ini bonus selalu berada dalam pengertian positif dan produktif.

Tetapi sekarang ini pengertian bonus mulai mengalami deviasi. Bonus mulai dijadikan sebagai alat dan pembenaran untuk menguras isi kocek perusahaan. Paling tidak, itu terjadi dalam kasus PT PLN. Tahun lalu, manajemen PLN -- direksi dan komisaris -- menangguk bonus senilai total Rp 4,34 miliar.

Kalau saja kondisi keuangan PLN sudah kinclong, pembagian bonus jelas bukan nista. Jangankan sebesar Rp 4,34 miliar, bahkan di atas angka itu pun mungkin kita bisa maklum atau menganggap wajar.

Tapi soalnya, kondisi keuangan PLN masih babak-belur. Hingga tahun lalu, PLN masih saja membukukan kerugian akibat inefisiensi dalam proses produksi. Justru itu, pembagian bonus bagi direksi dan komisaris pun -- terlebih angka tentang itu terbilang signifikan -- sungguh terasa mengusik. Pembagian bonus itu amat janggal.

Dalam tataran legal-formal, pembagian bonus bagi manajemen PLN ini juga tak bisa dibenarkan. UU Nomor 1/1995 tentang Perseroan Terbatas menggariskan bahwa pembagian bonus hanya boleh dilakukan jika perusahaan mampu membukukan keuntungan. Jika sebaliknya, jelas, pembagian bonus adalah tindak pelanggaran hukum.

Memang, keputusan tentang pembagian bonus bagi manajemen PLN ini tertoreh dalam forum rapat umum pemegang saham (RUPS). Ketentuan perundangan juga menyebutkan bahwa RUPS adalah forum tertinggi pengambilan keputusan bagi institusi perusahaan berbadan hukum persero.

Namun ketentuan itu tak bisa dilihat dan diperlakukan seolah terlepas sama sekali dari konteks ruang, waktu, juga sistem nilai. Jika ketentuan itu diperlakukan sesuka hati oleh pihak-pihak yang terlibat, RUPS bisa menjadi forum yang berbahaya -- karena konspirasi pun bisa saja tertoteh di sana.

Jadi, sungguh naif jika pembagian bonus bagi manajemen PLN ini dianggap wajar dan sama sekali tak bermasalah hanya karena keputusan tentang itu digariskan dalam forum RUPS. Anggapan itu juga menyesatkan karena membuat RUPS dimanfaatkan sebagai forum untuk melegitimasi kesepakatan menguras isi kocek perusahaan dengan menggunakan istilah tantiem alias bonus.

Kenyataan itu sekaligus menunjukkan bahwa BUMN kita masih saja menjadi sapi perahan atau bahkan bancakan bagi pihak-pihak yang memiliki akses dan kuasa. Justru itu, konsep apa pun yang diterapkan dalam mengelola BUMN ini tampaknya percuma saja. Selama mental menjadikan BUMN sebagai bancakan belum juga bisa dikikis, selama itu pula konsep-konsep manajemen paling mutakhir sekalipun niscaya mandul.

Itu berarti, yang kita butuhkan untuk menyehatkan pengelolaan BUMN ini terutama adalah political will semua pihak (stake holders) menjadikan BUMN bukan sebagai objek bancakan.

Dalam konteks itu pula, pihak manajemen dituntut memiliki kemauan baik: menempatkan BUMN sebagai lahan pengabdian setulus-tulusnya bagi kemakmuran bangsa. Kalau tuntutan ini bisa terpenuhi, kami percaya bahwa pembagian bonus -- notabene dalam jumlah signifikan -- di saat perusahaan merugi tak akan pernah terjadi.***
Jakarta, 11 Mei 2005

Tidak ada komentar: