23 Maret 2005

Gambaran Semu Ekonomi Kita

Sejumlah perusahaan publik mampu membukukan laba bersih untuk tahun buku 2004 dalam jumlah amat mengesankan, yakni mencapai di atas Rp 1 triliun. Bahkan PT Astra International dan PT Bank Mandiri mencatat laba bersih per 31 Desember 2004 ini hingga di atas Rp 5 triliun.

Sementara beberapa perusahaan lain, seperti PT Bank BCA dan PT Telkom, di atas Rp 2 triliun. Lalu PT HM Sampoerna, PT Bank Rakyat Indonesia, PT Gudang Garam, PT Indosat, atau PT Unilever di bawah Rp 2 triliun.

Kenyataan itu jelas menarik. Paling tidak, itu mengingatkan pada kinerja perusahaan-perusahaan publik sebelum krisis ekonomi menerpa. Ketika itu, banyak perusahaan publik mengukir kinerja mengesankan: mampu membukukan laba hingga di atas Rp 1 triliun.

Konon, pada periode sekitar 1995-1996 itu kondisi ekonomi nasional amat kondusif. Tak heran jika dunia usaha pun demikian bergairah. Demikian kondusifnya kondisi itu, sampai-sampai dunia usaha nasional tergerak saling berlomba melakukan ekspansi dalam skala gila-gilaan.

Namun belakangan terbukti bahwa gairah bisnis yang menyala-nyala itu ternyata melahirkan moral hazard. Nafsu menggebu untuk memperbesar dan memperluas usaha lebih banyak diwarnai praktik mark up proyek. Pada gilirannya, itu melahirkan moral hazard dalam dunia perbankan nasional berupa pelanggaran batas maksimum penyaluran kredit (BMPK). Di sisi lain, proyek-proyek mega yang telanjur dipoles dengan mark up itu juga banyak menyedot pinjaman luar negeri.

Maka kondisi moneter di dalam negeri terguncang dan kurs rupiah kemudian tersungkur, malapetaka pun serta-merta merebak: dunia usaha nasional bertumbangan dengan lilitan utang yang praktis mencekik leher -- terutama utang dalam valuta asing. Di lain pihak, perbankan nasional yang telanjur digayuti pelanggaran BMPK juga tak terkecuali dirundung kemelut yang berujung pada kebangkrutan.

Justru itu pula, ekonomi nasional pun tak terhindarkan lagi terjerembab ke lubang krisis. Demikian dalam dan parahnya krisis itu, sampai-sampai proses pemulihan demikian lama dan menuntut ongkos amat mahal. Bahkan sisa-sisa krisis itu sedikit banyak masih terasa.

Lalu, apakah kinerja sejumlah perusahaan publik yang mampu membukukan laba bersih melampaui Rp 1 triliun tadi merupakan gambaran bahwa krisis ekonomi sekarang sudah benar-benar sirna? Barangkali tidak. Kinerja cemerlang perusahaan-perusahaan publik itu agaknya tak bisa serta-merta menjadi pertanda bahwa ekonomi nasional sudah benar-benar pulih. Bahkan kinerja tersebut justru lebih merupakan gambaran yang mempertegas anomali dalam ekonomi nasional selama ini.

Kita tahu, dalam tahun-tahun terakhir, ekonomi nasional lebih banyak dihela oleh sektor konsumsi. Dalam konteks ini, perbankan nasional memang cenderung melakukan penyaluran kredit ke sektor tersebut. Padahal, dengan tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang tak terbilang tinggi lagi, seharusnya perbankan tergerak mengucurkan kredit ke sektor riil. Tapi, nyatanya, sejauh ini perbankan belum juga memberikan porsi memadai terhadap sektor riil ini.

Banyak alasan dikemukakan perbankan sebagai pembenaran tentang itu. Yang pasti, perbankan kian larut mengucurkan kredit ke sektor konsumsi. Faktor itu pula yang memberi penjelasan kenapa perusahaan publik yang mampu membukukan laba bersih hingga melampaui Rp 1 triliun tadi didominasi perbankan. Juga kenapa PT Astra International -- bukan PT Astra Agro Lestari atau PT Sierad Produce, misalnya -- yang bisa menangguk laba senilai Rp 5 triliun lebih.

Jadi, tampilnya sejumlah perusahaan publik mampu meraup laba bersih dalam hitungan mengesankan itu bukan pertanda bahwa sektor riil sudah pulih kembali. Bagaimanapun, kenyataan itu lebih mencerminkan gambaran semu ekonomi nasional saat ini.***
Jakarta, 23 Maret 2005

Tidak ada komentar: