07 Maret 2005

Tumbuhkan Lagi Patriotisme

Malaysia makin menunjukkan sikap kurang ajar. Mereka bukan lagi secara sepihak mengklaim wilayah Ambalat sebagai bagian teritorial mereka. Atau nekat memberi konsesi pertambangan migas kepada investor asal Belanda/Inggris, Shell, di Blok Ambalat. Lebih dari itu, mereka juga dilaporkan berani mengusir kapal nelayan kita yang sedang berada di perairan Ambalat. Juga mereka menyatroni pekerja kita yang sedang membangun mercusuar di Pulau Karang Unarang.

Kemarin, kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia -- KD Kerambit -- dilaporkan nekat memasuki wilayah teritorial Indonesia di peairan Karang Unarang. Kekurangajaran itu bukan hanya menunjukkan sikap tak acuh terhadap klaim kita atas wilayah Ambalat -- notabene sudah diakui hukum internasional. Lebih dari itu, mereka juga seolah sengaja menantang kita untuk bertempur.

Memang, kontak fisik masih bisa dihindari. Tapi, bagaimanapun, masuknya kapal patroli KD Kerambit ke wilayah Indonesia ini sudah amat gamblang menunjukkan kekurangajaran. Ibarat preman pasar, mereka sengaja petantang-petenteng di rumah kita.

Boleh jadi, dengan itu, mereka juga ingin meledek sekaligus menggertak kita. Mereka ingin meledek bahwa mesin perang kita tak ada apa-apanya dibanding apa yang mereka miliki. Mereka juga ingin menggertak kita: hendaknya berpikir berpuluh kali sebelum berani terlibat kontak fisik dengan mereka.

Betul, mesin perang kita kalah jauh dibanding Malaysia. Itu tidak saja dalam segi jumlah, melainkan juga mutu. Mesin perang yang dimiliki Malaysia terbilang modern dan canggih-canggih. Jumlahnya pun lumayan mengesankan. Sementara mesin perang kita rata-rata sudah uzur -- dan karena itu pula jumlahnya telah berkurang lumayan banyak. Keterbatasan keuangan negara, antara lain, merupakan penyebab kenyataan itu.

Jadi, dibanding Malaysia, mesin perang kita memang relatif tak ada apa-apanya. Tetapi jelas itu bukan alasan bagi kita untuk ciut nyali. Terlebih masalah yang kita hadapi sekarang adalah kedaulatan yang coba dicaplok tetangga. Nyali kita tak boleh menjadi lembek hanya karena keterbatasan mesin perang.

Dalam konteks itu, patriotisme kita digugah. Kini saatnya kita menunjukkan sikap-tindak bahwa tak sejengkal pun tanah air kita boleh lepas dicaplok siapa pun. Kita harus berjuang mempertahankan kedaulatan wilayah kita sampai titik darah penghabisan. Ini bukan hanya harus ditunjukkan oleh TNI, melainkan juga tim diplomasi yang diturunkan -- juga kita semua sebagai anak bangsa.

Memang, setelah sekian puluh tahun berlalu, kata-kata "berjuang hingga titik darang penghabisan" mungkin terasa berlebihan. Tapi jangan lupa, kata-kata semacam itu pula yang dulu membuat kita begitu berkobar-kobar hingga kita mampu mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Soekarno-Hatta. Padahal, secara fisik, kala itu kita juga tak ada apa-apanya dibanding tentara Sekutu atau Belanda. Mesin perang yang kita miliki saat itu lebih banyak terdiri atas bambu runcing.

Kini, menghadapi tantangan nyata berupa upaya pencaplokan wilayah kedaulatan kita oleh pihak asing, kata-kata heroik kita butuhkan lagi. Kata-kata tersebut harus kembali mampu menjadi mesiu yang menggelegakkan patroitisme dalam diri kita. Dengan begitu, kita yakin kita tak bakalan undur sejengkal pun dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara kita.

Patiotisme kita butuhkan bukan hanya karena mesin perang kita relatif terbatas, melainkan terutama karena kita sudah mulai melupakan patriotisme. Disadari ataupun tidak, selama ini kita cenderung menganggap patriotisme lebih merupakan semangat zaman pergerakan dulu. Kalaupun masih sedikit bersisa, patriotisme sekarang ini cenderung kita tunjukkan dalam arti sempit dan cenderung negatif.***
Jakarta, 07 Maret 2005

Tidak ada komentar: