21 Maret 2005

Tarif Listrik Kenapa Naik?

Tarif dasar listrik (TDL) tak sepatutnya naik mengikuti harga bahan bakar minyak (BBM). Gagasan atau keinginan ke arah itu sungguh tidak hirau terhadap gejolak dan keresahan di masyarakat saat ini, menyusul keputusan pemerintah menaikkan harga BBM sejak 1 Maret lalu. Bisa dibayangkan jika TDL ikut-ikutan dinaikkan: beban ekonomi masyarakat niscaya semakin berat saja.

Justru itu, reaksi masyarakat pasti keras. Berkombinasi dengan kekecewaan terhadap kenaikan harga BBM, keresahan di masyarakat pun niscaya kian menjadi-jadi. Bukan tidak mungkin, karena itu, gejolak sosial pun sulit dihindari lagi.

Namun kalaupun situasi dan kondisi masyarakat kita relatif kondusif menerima kenaikan TDL, itu tak berarti langkah atau keputusan ke arah sana menjadi relevan. Bagaimanapun, untuk saat sekarang ini, kenaikan TDL sulit memperoleh titik pijak atau pembenaran.

Memang, BBM merupakan komponen produksi tenaga listrik. Tetapi itu tak otomatis berarti bahwa kenaikan harga BBM serta-merta membuat kenaikan TDL menjadi relevan. Kenaikan harga BBM tetap tidak otomatis menjadi alasan bagi kenaikan TDL. Kenapa?

Sederhana saja: karena sejauh ini PLN sebagai institusi yang menghasilkan tenaga listrik masih kental digayuti inefisiensi. Kita tidak tahu persis seberapa dalam atau seberapa parah inefisiensi dalam kegiatan operasional PLN ini. Yang pasti, secara ekonomi, inefisiensi ini menorehkan kerugian tidak kecil di tubuh PLN.

Kenyataan itu pula yang selama ini membuat kinerja PLN tergolong tidak sehat. Saban tahun, buktinya, PLN terus saja membukukan kerugian dalam jumlah tidak kecil.

Berbagai pembenaran atas kenyataan itu boleh saja dideretkan. Kalkulasi atau hitung-hitungan matematik juga bisa dipaparkan. Tetapi itu semua tetap tidak bisa menjadi faktor pemaaf terhadap inefisiensi di tubuh PLN ini. Terlebih masalah tersebut nyaris tak kunjung membaik.

Karena itu, kenaikan TDL -- atas alasan apa pun -- sama sekali tidak fair: karena hanya bermakna mengalihkan beban inefisiensi operasional PLN terhadap masyarakat konsumen. Bahkan kenaikan TDL hanya menjadi faktor yang tidak mendidik bagi PLN. Seperti tergambar selama ini, kenaikan TDL hanya mengondisikan PLN tidak pernah merasa bersalah dan tak tergerak untuk memberesi berbagai sumber inefisiensi secara serius.

Dalam konteks seperti itu pula kita amat menyesalkan sikap Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Yogo Pratomo yang seolah memberi angin terhadap PLN menyangkut kenaikan TDL ini. Jumat pekan lalu, dia menyebutkan bahwa TDL bisa saja dinaikkan jika keuangan PLN kian memburuk sebagai dampak kenaikan harga BBM. Terlebih dia juga menyebutkan bahwa pemerintah bisa memberi toleransi kenaikan TDL ini maksimal hingga 7 persen.

Tapi beruntung, kemarin Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Purnomo Yusgiantoro meralat pernyataan Yogo tadi. Intinya, Purnomo menolak kemungkinan menaikan TDL sepanjang PLN tidak bisa membuktikan bahwa mereka sudah benar-benar melakukan efisiensi.

Bagi kita, pernyataan itu merupakan petunjuk bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap beban berat yang harus dipikul masyarakat akibat kenaikan harga BBM sejak 1 Maret lalu. Di sisi lain, itu juga menjadi isyarat bahwa pemerintah punya keinginan membuat PLN menjadi perusahaan yang benar-benar sehat dan menguntungkan secara finansial.

Kenaikan harga BBM seharusnya memang justru dijadikan sebagai momentum ke arah itu. Faktor kenaikan harga BBM amat beralasan dikondisikan sebagai pemicu dan pemacu gerakan efisiensi di tubuh PLN.***
Jakarta, 21 Maret 2005

Tidak ada komentar: