11 Maret 2005

Isu BBM Jangan Tenggelam

Mempertahankan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang penting -- karena menyangkut identitas dan harga diri kita sebagai bangsa. Sejengkal pun Tanah Air kita tak boleh hilang atau susut karena dicaplok negara lain. Kita wajib mati-matian melawan upaya pihak asing yang mencoba menyerobot wilayah teritorial NKRI ini.

Syukur kalau perlawanan itu masih bisa kita lakukan lewat jalan damai alias melalui perundingan. Tapi kalaupun terpaksa harus menempuh kekerasan, siap tak siap, kita harus tetap meladeni. Kita tak boleh menyandarkan perlawanan semata terhadap kesiapan dan kelengkapan fisik, terutama mesin perang yang dimiliki TNI. Bagaimanapun, perlawanan itu harus lebih merupakan pengejawantahan semangat kita bersama mempertahankan integritas teritorial NKRI.

Atas dasar itu pula, kita memahami -- juga mendukung -- aksi-aksi demo yang dilakukan berbagai elemen masyarakat kita belakangan ini yang mengutuk klaim Malaysia atas wilayah Ambalat milik kita di perairan Sulawesi. Bagi kita, aksi-aksi demo itu terasa melegakan -- karena jelas menunjukkan kesadaran dan sikap cinta Tanah Air.

Demo-demo itu terasa menjadi bara yang mengobarkan kembali patriotisme dan heroisme kita sebagai bangsa. Kobaran patriotisme dan heroisme ini sungguh merupakan modal amat berharga bagi perjuangan kita mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial NKRI.

Tapi gegap-gempita aksi demo anti-Malaysia ini tak boleh sampai menenggelamkan isu lain yang juga tak kalah penting: penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Apalagi jika benar seperti dugaan orang bahwa isu tentang Ambalat sengaja dihembuskan pemerintah -- sehingga demo anti-Malaysia jadi marak -- agar perhatian masyarakat beralih sehingga isu kenaikan harga BBM tak lagi jadi fokus.

Bagaimanapun, jika benar itu yang terjadi, pemerintah sudah bersikap tidak fair. Pertama, pemerintah menjadikan Malaysia sebagai bulan-bulanan kemarahan masyarakat. Kedua, pemerintah mengabaikan aspirasi masyarakat tentang harga BBM.

Pemerintah memang tak selayaknya menganggap remeh penolakan masyarakat terhadap keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Ini juga masalah amat penting -- karena langsung menyentuh aspek kehidupan rakyat secara keseluruhan.

Memang benar, berbagai studi menunjukkan bahwa selama ini subsidi BBM lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas. Lapisan masyarakat bawah sendiri sebagai kelompok yang paling berhak, relatif sedikit menikmati subsidi BBM ini.

Namun pengurangan subsidi yang dilakukan pemerintah -- notabene mengakibatkan harga BBM harus dinaikkan -- tak serta-merta menyelesaikan masalah. Kenaikan harga BBM mengakibatkan harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan meroket.

Dalam terminologi ekonomi, kenaikan harga BBM ini mengakibatkan daya beli masyarakat menurun. Bahkan penurunan tersebut lebih dahsyat lagi dirasakan masyarakat miskin. Padahal, di lain pihak, program kompensasi pengurangan subsidi BBM yang disiapkan pemerintah masih serba meragukan. Banyak pihak tak yakin bahwa program tersebut bisa efektif mencapai sasaran. Terlebih konsep operasional pengucuran dana kompensasi yang khusus ditujukan bagi kelompok masyarakat miskin ini belum lagi tersedia.

Di sisi lain, industri nasional pun ikut terpukul oleh kenaikan harga BBM ini. Ongkos produksi yang mereka keluarkan jelas jadi naik. Itu jelas menohok daya saing produk yang mereka hasilkan. Karena itu, boleh jadi, geliat industri nasional jadi melemah. Itu, pada gilirannya, niscaya memukul pula ekonomi masyarakat kebanyakan.

Jadi, jelas, keliru besar jika isu soal harga BBM ini dianggap sepi dan disimpan di alam mimpi pun tidak.***
Jakarta, 11 Maret 2005

Tidak ada komentar: