18 Maret 2005

Kocok Ulang Pimpinan Dewan?

Ada keinginan di sebagian anggota DPR untuk melakukan kocok ulang pimpinan Dewan. Dengan itu, mereka mengisyaratkan bahwa kepercayaan mereka terhadap pimpinan DPR sekarang ini sudah luntur. Bagi mereka, pimpinan DPR perlu dipilih ulang karena figur yang sekarang menorehkan kekecewaan di pihak mereka.

Keinginan itu merupakan ekspresi lain ketidakpuasan sebagian anggota Dewan terhadap persidangan paripurna DPR, Rabu lalu, yang khusus membahas keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Mereka tidak puas karena pimpinan DPR menyodorkan dua opsi pengambilan keputusan tentang sikap Dewan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.

Opsi pertama, pembahasan masalah kenaikan harga BBM diserahkan kepada rapat gabungan Komisi VII, Komisi XI, dan Panitia Anggaran. Opsi kedua, sidang paripurna DPR mengambil sikap lewat pemungutan suara sikap Dewan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM -- apakah menolak atau menerima.

Beberapa fraksi yang sejak awal menolak kenaikan harga BBM tidak mau ada opsi pertama ataupun opsi kedua soal harga BBM ini. Karena itu, ketika pimpinan rapat yang juga Ketua DPR Agung Laksono hendak mengetukkan palu tanda dua opsi hasil lobi fraksi-fraksi itu disetujui paripurna, mereka bereaksi. Sebagian mereka segera beranjak ke depan meja pimpinan rapat dan mempertontonkan drama ala preman pasar yang menghebohkan itu: berupaya menyerang pimpinan rapat secara fisik.

Reaksi lain, itu tadi, serta-merta mereka melontarkan keinginan untuk melakukan kocok ulang pimpinan DPR. Belum jelas benar, seberapa serius keinginan itu mereka coba wujudkan melalui lobi-lobi. Juga belum terlihat jelas bagaimana respons kalangan anggota DPR lain yang dalam konteks kenaikan harga BBM ini berseberangan sikap dengan mereka.

Yang pasti, dalam koridor demokrasi, keinginan seperti itu sah-sah saja. Dalam alam demokrasi, segala keinginan atau gagasan memang bisa diperjuangkan -- tentu lewat adu argumentasi dan lobi-lobi, bukan mengobral nyali gaya koboi. Jadi, ihwal kocok ulang pimpinan Dewan ini bukan cela, bukan pula nista. Tak ada yang salah ataupun keliru mengenai keinginan ke arah itu.

Tetapi jika dikaitkan dengan kedewasaan berpolitik, keinginan itu menunjukkan kekerdilan dalam bersikap. Bahkan mungkin tak beda jauh dengan aksi menyerang pimpinan sidang secara fisik: keinginan melakukan kocok ulang pimpinan Dewan ini sungguh kekanak-kanakan. Itu ibarat anak ingusan yang ingin ganti ayah-ibu hanya karena dilarang jajan permen.

Kita katakan begitu, karena proses politik tidak mungkin menghasilkan keputusan yang memuaskan semua pihak. Seperti pertandingan olahraga, proses politik selalu menorehkan kemenangan bagi satu pihak dan kekalahan bagi pihak lain -- kendati itu tidak senantiasa diametral hitam-putih. Justru itu, berpolitik amat menuntut kedewasaan: bersikap legawa (berjiwa besar) manakala kalah dan tidak berlaga jumawa (pongah) ketika tampil sebagai pemenang.

Karena itu, adalah menggelikan sekaligus mengharukan ketika kekecewaan atas kegagalan menggolkan sikap, pandangan, atau pendirian politik dalam proses persidangan di parlemen serta-merta melahirkan keinginan menjatuhkan "hukuman" terhadap pimpinan sidang -- khususnya dengan menggagas kocok ulang pimpinan Dewan.

Memang, pimpinan sidang bisa saja turut mempengaruhi proses maupun hasil akhir persidangan. Tapi, dalam berpolitik, itu adalah sebuah seni tersendiri yang tak bisa dibilang sebagai nista -- tentu sepanjang seni itu tidak menjadi akrobat yang keluar dari koridor persidangan, Karena itu, proses persidangan di parlemen ini amat menuntut kepiawaian memainkan seni politik. Tapi, tampaknya, soal kepiawaian ini justru amat jarang dimiliki anggota Dewan. Mungkin karena mereka pemain kemarin sore yang dikarbit menjadi koboi.***
Jakarta, 18 Maret 2005

Tidak ada komentar: