01 Maret 2005

Keputusan Pahit

Betul, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah pilihan pahit. Pahit, karena kenaikan itu jelas tidak mengenakkan. Bahkan terasa menyesakkan -- karena kenaikan harga BBM niscaya mendorong harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan naik.

Mungkin benar, dampak kenaikan harga BBM terhadap laju inflasi relatif tak seberapa besar. Bahkan, seperti keyakinan pemerintah -- konon, berdasar studi -- dampak inflatoar itu tak sampai 1 persen.

Tapi kenyataan yang dihadapi masyarakat bisa lain. Penurunan daya beli masyarakat -- terutama kelompok lapisan miskin -- sebagai dampak kenaikan harga BBM ini bukan lagi nol sekian persen. Penurunan daya beli ini bisa sepuluh persen atau mungkin lebih. Justru itu, bagi khalayak luas, kenaikan harga BBM dengan segala dampak ikutannya sungguh terasa sebagai beban yang menyengsarakan.

Karena itu pula, bagi pemerintah, kenaikan harga BBM amat disadari sebagai kebijakan yang tidak popular. Kebijakan tersebut bisa membuat simpati khalayak luas terhadap pemerintah menjadi menurun -- bahkan mungkin menjadi antipati.

Walhasil, bagi pemerintah pun, kenaikan harga BBM adalah pilihan pahit. Tapi suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, pilihan pahit itu harus diambil menjadi kebijakan. Jika tidak, pemerintah harus siap menanggung beban lonjakan subsidi harga BBM dalam APBN. Pada gilirannya, itu membuat pemerintah harus pula menghadapi masalah defisit APBN yang semakin menganga lebar.

Memang, pihak legislatif tidak memberikan persetujuan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM ini. Beberapa fraksi di DPR kukuh menentang langkah tersebut -- karena pemerintah, bagi mereka, belum menjelaskan beberapa soal mendasar seputar ongkos produksi minyak. Di lain pihak, Panitia Anggaran DPR juga menyatakan menolak keputusan pemerintah menaikkan harga BBM.

Lalu, bagaimana? Apakah keputusan pemerintah menaikkan harga BBM menjadi ilegal? Atau haruskah pemerintah membatalkan kebijakan tersebut dengan segala implikasi ekonomi yang niscaya harus ditanggung, khususnya menyangkut APBN?

Boleh jadi, meski tak beroleh dukungan pihak legislatif, keputusan pemerintah menaikkan BBM tak lantas bisa diangap sebagai nista tak terampunkan. Bagaimanapun, pemerintah memiliki kewenangan mengambil keputusan paling strategis sekalipun. Terlebih, secara politis, pasangan presiden-wapres sekarang ini merupakan pilihan murni rakyat juga.

Jadi, pemerintah tak harus membatalkan atau menunda kebijakan menaikkan harga BBM ini. Bahwa khalayak luas menentang kebijakan tersebut, itu adalah realitas yang harus dihadapi pemerintah dengan sikap bijak. Toh pemerintah sudah menyiapkan sejumlah besar dana sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ini, khususnya bagi masyarakat miskin. Yang penting, pemerintah harus berupaya keras agar kucuran dana kompensasi itu benar-benar tetap sasaran.

Bahwa keputusan menaikkan harga BBM ini juga tak memperoleh persetujuan pihak legislatif. itu bukan berarti pemerintah telah bersikap abai. Toh, terutama dalam pekan-pekan terakhir, pemerintah dan pihak legislatif begitu intens membahas ihwal kenaikan tersebut. Karena itu, di tengah kondisi yang terasa kian mendesak sekarang ini, ketidaksepakatan yang tak kunjung tertoreh di antara kedua belah pihak tak lantas harus menjadi ganjalan bagi pemerintah dalam memutuskan kenaikan harga BBM.

Dalam konteks seperti itu pula kita memahami sikap pemerintah yang tetap pada pendirian bahwa harga BBM harus dinaikkan sekarang ini. Pemerintah amat menyadari bahwa itu adalah pilihan pahit yang punya risiko-risiko tertentu, terutama politis. Tapi pemerintah tampaknya sudah siap. Paling tidak, seperti kata Presiden Yudhoyono, pemerintah siap tidak popular.***
Jakarta, 1 Maret 2005

Tidak ada komentar: