25 Februari 2005

Kenaikan BBM Kurangi Kemiskinan?

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tinggal menghitung hari. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandaskan bahwa kenaikan harga BBM ini segera dilakukan. Soal waktunya, Presiden memang tidak memberi gambaran. Tetapi jika merujuk pada pernyataan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie dalam kesempatan sebelumnya, kenaikan itu tampaknya dilakukan Maret mendatang.

Memang, DPR belum bulat mendukung rencana pemerintah ini. Dalam rapat konsultasi pemerintah dengan Komisi IX DPR, Selasa lalu, beberapa fraksi bahkan menunjukkan gelagat berupaya mengganjal langkah pemerintah menaikkan harga BBM ini.

Tetapi pernyataan Presiden Yudhoyono tadi -- bahwa kenaikan harga BBM segera dinaikkan -- bisa kita baca sebagai isyarat bahwa pemerintah sudah bisa meyakinkan pihak DPR. Atau, paling tidak, itu mencerminkan sikap optimis pemerintah bahwa akhirnya DPR akan memberikan persetujuan juga.

Namun apa pun yang menjadi latar belakang, pernyataan Presiden Yudhoyono tadi jelas menunjukkan tekad kuat pemerintah: bahwa kenaikan harga BBM sudah tak bisa dihindari lagi -- dan harus segera dilakukan. Ini sekaligus menepiskan penilaian sebagian kalangan bahwa pemerintah terkesan ragu-ragu dalam mengambil kebijakan tidak populer itu.

Justru itu, kepastian pun tertoreh. Ini positif. Dunia usaha, terutama, jelas bisa langsung melakukan ancang-ancang. Terlebih skenario kenaikan harga BBM ini sudah bocor ke pers. Kalaupun kelak keputusan yang diumumkan pemerintah ternyata berbeda, skenario itu tampaknya tak bakal meleset jauh.

Jadi, dunia usaha nasional tak lagi terombang-ambing dalam spekulasi mengenai harga BBM. Mereka kini tinggal membuat kalkulasi dan menyiapkan antisipasi langkah-langkah penyesuaian. Dengan demikian, ketika harga BBM resmi dinyatakan naik, mereka tidak kaget atau gamang.

Karena itu, kita salut terhadap pernyataan Presiden Yudhoyono yang memastikan harga BBM segera dinaikkan. Namun di sisi lain, sejauh keterangan Menko Perekonomian tentang pernyataan Presiden tadi benar adanya, kita juga kaget. Presiden menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM akan mengurangi kemiskinan.

Bagi kita, pernyataan itu menyesatkan dan bisa mengecewakan masyarakat, khususnya kelompok rakyat miskin. Kita bukan hendak menafikan sumber rujukan Presiden tentang itu, yakni hasil penelitian Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia. Kita sependapat bahwa pengurangan subsidi BBM -- notabene merupakan faktor yang membuat harga BBM harus dinaikkan -- berdampak positif terhadap lapisan masyarakat bawah. Persisnya mengurangi kemiskinan.

Tetapi adalah menyesatkan jika itu digambarkan sebagai kondisi yang niscaya serta-merta terjadi. Bahkan hasil penelitian LPEM itu sendiri, sebenarnya, menyebutkan bahwa dampak positif pengurangan subsidi BBM terhadap penurunan kemiskinan ini tidak bersifat seketika.

Dampak positif itu baru mungkin tertoreh dalam jangka menengah dan panjang. Sementara dalam jangka pendek, pengurangan subsidi (baca: harga BBM dinaikkan) membuat masyarakat miskin semakin sengsara.

Itu begitu niscaya, karena kenaikan harga BBM memacu berbagai barang dan jasa ikut-ikutan meroket -- dan karena itu, daya beli masyarakat jadi melorot. Terlebih jika program kompensasi kenaikan harga BBM ternyata masih saja banyak tidak mencapai sasaran, kesengsaraan masyarakat lapisan miskin niscaya lebih dalam lagi.

Yang dibutuhkan masyarakat sebenarnya bukan janji -- betapapun janji itu realistis dan bukan sekadar gombal. Masyarakat sudah bosan dengan janji-janji. Yang mereka tuntut sebenarnya sederhana: hidup tidak semakin susah. Tapi justru itu, dalam konteks kenaikan harga BBM, sulit bisa dipenuhi pemerintah dalam jangka pendek.
Jakarta, 25 Februari 2005

Tidak ada komentar: