18 Februari 2005

Ada Apa Dengan Bulog?

Menteri Pertanian Anton Apriyantono kemarin memastikan bahwa kran impor beras baru dibuka lagi jika hasil panen pertama pada musim tanam 2004/2005 terbukti gagal alias jauh di bawah target sebesar 54 juta ton gabah kering panen (GKP). Dengan itu, Anton menepiskan kekhawatiran Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspojo soal persediaan beras pada tahun ini.

Menurut Anton, secara kuantitas produksi padi nasional tahun ini tak beralasan dikhawatirkan. Mengutip prediksi Badan Pusat Statistik (BPS), dia tegas menyebutkan bahwa produksi gabah nasional pada tahun ini berada di kisaran 54 juta ton GKP atau setara 36 juta ton beras.

Terkait itu, Anton juga menepiskan kemungkinan terjadinya perubahan ekstrem iklim berupa musim kering panjang -- dikenal sebagai fenomena El Nino -- pada tahun ini. Anton menyebutkan, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) maupun Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tidak memberikan informasi ihwal terpaan El Nino yang berdampak menurunkan produksi beras nasional.

Deptan sendiri memang belum membuat ramalan mengenai produksi beras nasional untuk tahun ini -- karena masih menunggu masukan data dari berbagai daerah. Namun demikian, Anton optimis bahwa produksi padi tahun ini bisa mencapai sekitar 54 juta ton seperti tahun lalu.

Walhasil, bagi pihak Deptan, kekhawatiran bos Bulog tentang produksi beras nasional pada tahun ini sama sekali tak beralasan. Mereka juga tak habis mengerti oleh sumber informasi tentang fenomena El Nino yang disebut-sebut Widjanarko bakal kembali menerpa pada tahun ini.

Widjanarko memang tidak menyebut sumber ketika dia menyatakan ihwal terpaan El Nino ini. Tapi, jelas, dengan itu dia berupaya meyakinkan berbagai bahwa produksi beras nasional tahun ini bisa kritis. Seperti yang sudah-sudah, fenomena El Nino memang bisa melahirkan kekeringan dahsyat sehingga produksi beras nasional pun jadi anjlok.

Atas dasar itu pula, Widjanarko sebenarnya memberi sinyal tentang perlunya pemerintah membuat langkah antisipasi agar persediaan beras nasional tetap aman. Itu positif. Langkah antisipatif, dalam soal apa pun, memang perlu -- dan tentu bermanfaat sejauh berpijak pada kondisi atau alasan-alasan yang akurat.

Dengan melakukan antisipasi, berbagai kemungkinan bisa diperhitungkan. Atas dasar itu, kemungkinan buruk tentu diupayakan bisa dihindari. Sebaliknya, langkah-langkah optimal tentu bisa dicurahkan untuk menggapai berbagai kemungkinan bagus agar menjadi kenyataan.

Berdasar pemahaman itu, kita pun menilai pernyataan Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspojo tentang persediaan beras pada tahun ini sungguh punya arti penting dan menuntut langkah antisipatif. Terlebih pokok masalah menyangkut beras. Kita tahu, beras adalah komoditas strategis -- karena merupakan makanan pokok masyarakat kita.

Justru itu pula, bagi kita, komoditas beras amat sensitif. Sedikit saja stok atau pasokan terganggu, harga komoditas tersebut langsung meroket. Jika tak terkendali, kondisi itu bahkan bisa melahirkan instabilitas sosial-politik.

Karena itu, sekali lagi, pernyataan Widjanarko tadi sungguh penting. Pernyataan dia bahwa produksi beras nasional tahun ini dikhawatirkan anjlok, semestinya segera menggerakkan kita melakukan langkah-langkah antisipasi.

Tetapi ketika berbagai pihak mematahkan argumen atau faktor kondisi obyektif yang melandasi sinyalemen bos Bulog tadi -- yaitu bahwa El Nino akan kembali menerpa, sehingga produksi beras nasional terancam kritis -- orang serta-merta tergiring bertanya: ada apa dengan Bulog? Bahkan kecurigaan pun langsung merebak: jangan-jangan Bulog sedang mengincar izin impor beras.

Boleh jadi, Bulog sendiri tidak memiliki pamrih tentang itu: izin impor beras tidak harus diberikan kepada Bulog. Tetapi juga adalah naif jika beitu saja menafikan bahwa Bulog tak berkepentingan terhadap izin impor beras ini. Maklum karena impor beras termasuk kegiatan bisnis yang terbilang gurih.***
Jakarta, 18 Februari 2005

Tidak ada komentar: