11 Februari 2005

Krisis Gula Sulit Dihindari?

Menteri Perdagangan Mari Pangestu melontarkan isyarat bahwa perkembangan harga gula pasir di pasar dalam negeri sekarang ini belum merisaukan. Dia yakin, harga gula hanya melonjak di daerah-daerah tertentu.

Tetapi barangkali Mari lupa bahwa pasar amat sensitif. Perkembangan harga di suatu lokasi akan segera merembet ke lokasi lain. Dalam kaitan ini, kalangan pedagang amat lihai mengendus situasi. Mereka juga amat piawai dalam berkalkulasi atau bahkan berspekulasi. Terlebih bila kondisi obyektif di lapangan amat mengondisikan ke arah itu.

Justru itu, bagi kita, perkembangan harga gula pasir di dalam negeri belakangan ini sudah mulai terasa mencemaskan. Sekarang ini, harga komoditas tersebut di sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Surabaya sudah menembus Rp 6.000 per kg. Boleh jadi, harga tersebut masih akan merambat naik. Maklum karena pemerintah sudah tidak punya stok gula. Bulog, dalam kaitan ini, sudah menghabiskan stok terakhir sebanyak 70.000 ton pada Mei tahun lalu.

Sementara itu, arus masuk gula impor juga ternyata seret. Pengadaan gula impor oleh empat importir terdaftar -- PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIX, PTPN X, PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) -- ternyata tidak berlangsung mulus. Konon, dari izin impor sebanyak 300.000 ton yang dikeluarkan pemerintah, sejauh ini baru sekitar 60.000 ton yang masuk.

Kalangan pedagang tentu melihat kenyataan itu sebagai situasi yang harus diwaspadai -- dan karena itu mesti dikalkulasi cermat. Maka spekulasi mereka pun merebak. Tak heran jika harga gula sekarang ini begitu kuat menunjukkan tendensi naik terus.

Tapi kenapa Menteri Mari masih terkesan tak risau? Mungkin dia memang yakin mampu mengendalikan situasi. Seperti dia katakan sendiri, jika dipandang perlu, izin impor gula bisa saja dikeluarkan lagi. Jumlahnya sekitar 200.000 ton.

Terus-terang saja, kita ragu bahwa itu bisa efektif mengatasi masalah. Pertama, seperti sudah disinggung, kemampuan importir terdaftar tak bisa diandalkan. Bahkan untuk mendatangkan 300.000 ton gula sesuai izin yang sudah dikeluarkan pemerintah pun mereka terlihat kepayahan. Mereka amat terkesan belum piawai dalam memasuki jagat pergulaan internasional. Tak heran jika dalam mendatangkan gula impor ini mereka selalu terbentur pada berbagai kesulitan teknis yang amat mengganggu.

Kedua, jagat pergulaan dunia sendiri sekarang ini sedang bergolak. Di satu sisi, produksi turun karena beberapa alasan. Thailand, misalnya, menurunkan produksi dalam rangka mengantisipasi terpaan fenomena El Nino tahun ini. Gula yang dihasilkan Brazil juga tahun ini relatif sedikit dilempar ke pasar. Mereka lebih memilih mengonversi gula ke etanol untuk bahan bakar alternatif gara-gara harga minyak melonjak hebat.

Di sisi lain, beberapa negara yang selama ini dikenal sebagai konsumen besar gula dunia justru sedang mengalami krisis gula. Stok gula di India, Pakistan, Bangladesh, juga Cina sekarang ini sudah tipis. Justru itu, mereka berupaya keras menyerap banyak-banyak pasokan gula di pasar dunia.

Di tengah kondisi produksi yang berkurang signifikan, kenyataan itu tentu membuat harga gula terkerek naik. Sekarang ini, harga gula di pasar internasional sudah mencapai 320 dolar per ton. Padahal awal tahun lalu, harga gula di pasar dunia ini masih berkisar 230 dolar per ton.

Karena itu, kita tak bisa memahami sikap Menteri Mari yang masih saja terkesan memandang sepi perkembangan harga gula di dalam negeri yang cenderung terus merangkak naik itu. Atau jangan-jangan itu isyarat bahwa dia sesungguhnya sudah melihat betapa keadaan sudah amat sulit dikendalikan atau diperbaiki. Artinya, krisis gula sungguh tak bisa kita hindari lagi.

Jika benar itu yang terjadi, berarti kita gagal melakukan antisipasi. Kita keliru mengelola keadaan agar tetap terjaga aman. Padahal, di masa lalu, krisis gula ini mampu kita hindari. Ya, karena berbagai kemungkinan yang bisa melahirkan risiko tersebut selalu bisa kita antisipasi dengan baik.
Jakarta, 11 Februari 2005

Tidak ada komentar: