22 Februari 2005

Pengakuan Jujur Kapolri

Pengakuan jujur diungkapkan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar. Yaitu bahwa lembaga Polri masih digelayuti sederet penyimpangan. Mulai dari soal perdagangan jabatan, sogok dalam konteks pendidikan lanjutan, juga praktik pungutan liar yang merugikan masyarakat.

Pengakuan itu sendiri merupakan jawaban atas hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang menempatkan Polri di urutan kedua terkorup dalam berinteraksi dengan kalangan pengusaha. Posisi pertama ditempati Bea Cukai, ketiga militer, dan keempat lembaga peradilan.

Jika dikatakan sembarang polisi, pengakuan itu jelas tidak terasa istimewa. Tapi karena justru diutarakan orang nomor satu di lingkungan Polri, pengakuan bahwa lembaga Polri digelayuti sederet penyimpangan yang bermuara pada soal fulus itu sungguh menjadi amat berbobot -- dan niscaya bukan basa-basi.

Kita katakan bahwa pengakuan itu juga jujur karena Da'i tidak membantah atau berupaya menutup-nutupi apa yang dibeberkan TII lewat hasil survei itu. Bahkan Da'i dengan gamblang menyebutkan bahwa penyimpangan-penyimpangan di tubuh Polri ini memang benar adanya.

Yang mencenangkan, Da'i bukan sekadar menyebutkan bahwa sikap-tindak korup itu terjadi saat polisi berhubungan dengan publik. Tapi juga di lingkungan internal Polri sendiri. Misalnya jabatan diperdagangkan. Juga urusan pendidikan lanjutan menjadi arena sogok.

Sebenarnya, itu bukan lagi perkara baru. Selama ini kita sendiri acap melihat atau merasakan realitas tentang mental korup di lingkungan Polri ini. Hanya, memang, selama ini pula soal itu lebih banyak sekadar menjadi gerundelan di hati, atau paling tidak cuma menjadi bahan bisik-bisik antarteman.

Benar, mental korup itu tidak meliputi keseluruhan korp polisi. Juga jelas bukan merupakan kebijakan resmi institusi Polri. Mental korup di tubuh Polri ini lebih merepresentasikan penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum petugas polisi.

Namun, publik sulit sekali membedakan oknum dan bukan oknum. Bagi publik, polisi ya polisi -- entah dia sekadar oknum atau polisi sejati. Karena itu, sikap-tindak oknum pun terinternalisasikan sebagai gambaran polisi secara keseluruhan. Terlebih, sosok oknum itu sendiri begitu sering berhadapan dengan publik: bisa di jalan raya, saat mengurus perizinan, saat mengadu, dan lain-lain.

Karena itu, bagi masyarakat, polisi belum terasa menjadi pelindung. Polisi belum terasa menjadi pelayan masyarakat sebagaimana slogan yang terpampang di hampir setiap kantor polisi. Kehadiran polisi justru melahirkan perasaan tidak nyaman. Setiap kali harus berurusan dengan polisi, orang sudah gerah duluan.

Persoalannya jelas: karena berurusan dengan polisi acap berarti harus merogoh kocek -- entah itu bersifat resmi, atau lebih-lebih lagi ilegal. Sampai-sampai ada anekdot bahwa orang yang melapor kehilangan ayam harus siap kehilangan kambing.

Penilaian atau persepsi seperti itu jelas tidak sehat -- karena Polri sesungguhnya harus menjadi lembaga yang membuat masyarakat merasa aman dan nyaman terlindungi. Juga karena polisi amat dibutuhkan sebagai pilar agar tertib sosial dan hukum tetap terjaga tegak. Jika tidak begitu, kehidupan masyarakat bisa kacau: hukum rimba bisa berlaku.

Kini persepsi tidak sehat itu beroleh pembenaran orang nomor satu di tubuh Polri. Ini bisa berbahaya. Jika segenap jajaran Polri tidak segera melakukan pembenahan ke dalam secara sungguh-sungguh, persepsi publik yang tidak sehat tadi niscaya makin kental. Bahkan kepercayaan terhadap lembaga Polri bisa benar-benar luntur. Pupus. Lebih-lebih jika oknum aparat Polri sendiri kian banyak tampil sebagai preman berseragam coklat.

Karena itu, kita amat menghargai kejujuran Kapolri soal mental korup di tubuh Polri ini. Tapi kita lebih salut lagi bila kejujuran itu diikuti dengan langkah koreksi total ke dalam.
Jakarta, 22 Februari 2005

Tidak ada komentar: