08 Februari 2005

Holding BUMN, Kenapa Ditentang?

Rencana Menneg BUMN menggabungkan sejumlah BUMN dalam sebuah induk perusahaan (holding company) sungguh menarik. Rencana tersebut dilatari keinginan pemerintah meningkatkan kinerja BUMN agar menjadi sehat dan mampu menuai keuntungan. Dengan demikian, keberadaan BUMN bisa memberi kontribusi nyata terhadap pendapatan negara dalam bantuk setoran pajak maupun bagian keuntungan (dividen).

Bahwa sasaran itu strategis -- membantu menutup defisit APBN -- kita bisa sepakat. Tetapi, seperti suara berbagai kalangan dalam menanggapi rencana Menneg BUMN ini, apakah pembentukan holding sungguh strategis bagi BUMN sendiri?

Memang benar, BUMN kita adalah sebuah potret buram. Secara keseluruhan, BUMN kita belum sehat. Dari total 157 unit BUMN, sekitar sepertiga belum juga kunjung mampu menuai untung. Bahkan sejumlah banyak BUMN yang berhasil membukukan laba pun tak tergolong perusahaan yang benar-benar sehat. Paling tidak, jumlah atau nilai kewajiban (liabilities) masing-masing BUMN juga terbilang besar. BUMN yang benar-benar sehat sendiri, agaknya, bisa dihitung dengan jari.

Kenyataan itu tentu tidak mengesankan. Terlebih kebanyakan BUMN bisa dibilang sudah bangkotan. Artinya, sebagai lembaga usaha, kiprah kebanyakan BUMN bukan baru dimulai kemarin sore. Bahkan sejumlah BUMN sudah berkibar sejak zaman penjajahan Belanda dulu.

Tetapi sejarah perjalanan kebanyakan BUMN kita lebih banyak menorehkan ironi. BUMN perkebunan, misalnya, di zaman penjajahan Belanda dulu merupakan tambang emas. Tapi sekarang ini, BUMN perkebunan justru merupakan perusahaan yang tak terbilang sehat.

Entah BUMN yang mengelola usaha perkebunan tebu/industri gula atau komoditas lain seperti karet atau teh, masing-masing sudah bukan lagi tambang emas -- dalam arti mampu mendulang laba secara gilang-gemilang. Dalam penuturan lugas, dibanding zaman penjajahan, kondisi BUMN perkebunan sekarang ini malah menunjukkan kemunduran -- notabene dengan prospek tak terlampau cerah pula.

Upaya memerbaiki keadaan bukan tak pernah dilakukan pemerintah terhadap BUMN perkebunan ini. Keberadaan 12 unit PT Perkebunan Nusantara (PTPN) sekarang ini, misalnya, merupakan hasil restrukturisasi dari jumlah semula 26 unit. Restrukturisasi itu sendiri dimaksudkan untuk mengondisikan masing-masing BUMN mampu meningkatkan kinerja usaha. Hasilnya? Gambaran PTPN sekarang tetap saja tak jauh beda dibanding sebelum restrukturisasi.

Ironi lain: BUMN tetap tak mampu menuai keuntungan, meski status badan hukum mereka sudah memberi keleluasaan -- bahkan menuntut ke arah itu. Sebut saja PT Kereta Api (PTKA). Sejak zaman berstatus perusahaan jawatan (perjan) dulu, PTKA terus saja berdarah-darah alias merugi melulu. Padahal perubahan status badan hukum antara lain dimaksudkan sebagai wahana yang memungkinkan PTKA beranjak menjadi sehat.

Di sisi lain, PT Garuda Indonesia atau PT Merpati Nusantara, juga mencatat sejarah hampir serupa. Kedua BUMN yang bergerak di bidang jasa penerbangan tersebut lebih banyak menorehkan gambaran kelabu ketimbang prestasi gemilang laiknya badan usaha yang sehat dan menguntungkan. Beberapa kali Garuda maupun Merpati dilanda krisis keuangan. Beberapa kali pula terpaksa pemerintah turun-tangan melakukan langkah penyelamatan -- terutama meninjeksikan modal segar. Tapi pada saatnya pula, kedua BUMN tersebut kembali dihantui krisis serupa.

Kenyataan-kenyataan seperti itu tentu terasa menggelitik jika dikaitkan dengan rencana Menneg BUMN mengelompokkan sejumlah BUMN dalam sebuah holding. Kita khawatir, langkah tersebut kelak terbukti hanya mengulang "sejarah": kinerja BUMN secara keseluruhan maupun masing-masing unit tetap saja tak membaik.

Dengan kata lain, pembentukan holding BUMN tak bisa semudah membalikkan tangan. Langkah ke arah itu, bagaimanapun, menuntut kajian mendalam dan komprehensif. Jika tidak, pembentukan holding niscaya tak memberi makna strategis bagi BUMN sendiri.

Kajian mendalam dan komprehensif juga mutlak dibutuhkan karena masing-masing BUMN telanjur tumbuh dengan kultur, watak, dan strategi masing-masing. Tanpa pemahaman mendasar atas faktor-faktor tersebut, langkah pembenahan boleh jadi sulit bisa membuahkan hasil sebagaimana harapan ataupun asumsi semula.

Paling tidak, itu sudah dibuktikan oleh berbagai langkah pembenahan BUMN yang pernah dilakukan pemerintah selama ini. Karena faktor mendasar pada setiap BUMN gagal dipahami, langkah pembenahan itu pun menjadi terkesan artifisial. Terlebih bila motif pembenahan itu sendiri kental dilatari oleh kepentingan yang tak terkait langsung dengan tujuan dan sosok ideal tentang badan usaha yang sehat dan mampu menuai untung.

Atas dasar itu, kita memahami keberatan berbagai kalangan terhadap rencana Menneg BUMN menggabungkan sejumlah BUMN dalam sebuah holding ini.***
Jakarta, 8 Februari 2005

Tidak ada komentar: