15 Februari 2005

Tonggak Awal Sebuah Rezim

Pencabutan Indonesia dari daftar hitam (black list) yang dibuat lembaga internasional pemberantasan tindak pidana pencucian uang (FATF) memang harus disyukuri. Betapa tidak, karena pencabutan itu mengandung arti bahwa kita tidak lagi dianggap sebagai surga pencucian uang (money laundering).

Kita sudah merasakan sendiri, ongkos yang harus kita tanggung selama ini sebagai konsekuensi atas status yang disandangkan FATF itu -- karena kita dinilai tidak kooperatif dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang -- sungguh mahal.

Yang sudah pasti saja, status itu membuat indeks tingkat risiko negara (country risk) kita dalam konteks investasi menjulang tinggi. Political and Economic Risk Consultancy (PERC), misalnya, sejauh ini menempatkan indeks country risk kita di kisaran 7-9. Artinya, kegiatan investasi di Indonesia dinilai berisiko tinggi.

Tapi dengan tidak lagi dimasukkan ke daftar hitam negara-negara yang tak kooperatif dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang, indeks country risk kita niscaya serta-merta turun. Justru itu, daya saing kita dalam menarik investasi asing pun amat bisa diharapkan jadi meningkat.

Artinya, dalam konteks itu, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia membaik. Itu pula yang membuat kita boleh berharap bahwa penurunan indeks country risk ini juga membuat peringkat utang Indonesia semakin naik. Terakhir, Desember lalu lembaga pemeringkat seperti Standard & Poor's menempatkan peringkat utang luar negeri kita di posisi B plus.

Bagi jajaran perusahaan nasional, penurunan indeks country risk kita juga membuat premi yang harus dibayar dalam setiap transaksi internasional jadi lebih rendah. Justru itu, biaya transaksi internasional mereka sekarang mesti relatif murah. Dengan demikian, jelas, daya saing dunia usaha nasional dalam pentas global pun niscaya terkerek naik.

Di sisi lain, pencabutan status tak kooperatif ini juga membuat kita terhindar dari risiko terkena sanksi lebih mematikan (counter measures): diisolasi dari tata pergaulan keuangan dunia. Sepanjang kita tetap masuk daftar hitam FATF, sanksi itu membayang pekat -- tergantung keputusan FATF. Jika FATF sampai pada kesimpulan bahwa kita tak bisa ditoleransi lagi, maka serta-merta sanksi counter measures pun harus kita pikul.

Itu pula yang selama ini amat kita cemaskan. Setiap kali menjelang sidang FATF, kita selalu amat mengkhawatirkan kalau-kalau kita divonis sudah tak bisa ditoleransi lagi sebagai negara yang mereka nilai tak koperatif terhadap gerakan pemberantasan tindak pidana pencucian uang -- meski, barangkali, itu tak sepenuhnya obyektif menurut kacamata kita sendiri.

Jadi, sekali lagi, pencabutan status tak kooperatif oleh FATF memang sungguh patut kita syukuri. Terlebih perjuangan ke arah itu ternyata begitu berliku. Untuk bisa keluar dari daftar hitam, kita tidak saja mesti tunduk-patuh terhadap syarat-syarat teknis yang digariskan FATF. Lebih dari itu, kita juga dituntut mampu meyakinkan negara-negara berpengaruh di FATF bahwa kita sekarang sudah berubah -- bukan lagi surga bagi tindak pencucian uang.

Kini, setelah tak lagi dikategorikan masuk daftar hitam, tentu tak berarti kita bisa berleha-leha. Kita justru harus makin sungguh-sungguh melakukan reka-upaya memberantas tindak pidana pencucian uang. Tantangan yang kita hadapi kini sungguh lebih berat lagi: prestasi yang sudah kita raih jangan sampai lepas lagi. Untuk itu, kita perlu menghayati semangat dalam dunia olahraga. Yaitu bahwa memertahankan status juara jauh lebih bermakna dan lebih berat ketimbang sekadar merebut gelar jawara.***
Jakarta, 15 Februari 2005

Tidak ada komentar: