04 Februari 2005

Dana Rp 20 triliun yang disiapkan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tahun ini sebenarnya tak bisa dibilang sedikit. Tapi dibanding dana subsidi BBM yang tak lagi terkucur seiring keputusan kenaikan harga BBM, angka Rp 20 triliun menjadi relatif tidak besar. Paling tidak, angka itu pasti tak sebanding dengan dana subsidi BBM yang bisa "diselamatkan" pemerintah.

Tahun lalu, dana yang dialokasikan untuk subsidi BBM ini bernilai sekitar Rp 63 triliun. Sementara tahun ini, seiring rencana kenaikan harga BBM, nilai subsidi tersebut sekitar Rp 21 triliun. Itu berarti, kenaikan harga BBM bisa "menyelamatkan" dana subsidi sekitar Rp 42 triliun.

Tapi, di lain pihak, dana yang dialokasikan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM hanya sekitar Rp 20 triliun. Itu pun adalah estimasi maksimal. Artinya, bisa saja kucuran dana kompensasi kenaikan harga BBM ini jauh di bawah Rp 20 triliun. Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati sendiri menyebutkan, angka minimal dana kompensasi ini adalah Rp 12 triliun.

Walhasil, memang, dana kompensasi dibanding dana eks subsidi BBM jauh tidak sebanding. Terlebih jika mengingat bahwa dampak ekonomis yang harus ditanggung masyarakat atas kenaikan harga BBM ini sungguh tak bisa dipandang enteng.
Pengalaman selama ini menunjukkan, kenaikan harga BBM serta-merta menimbulkan efek psikologis yang mendorong harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan naik.

Sebuah survei yang pernah dilakukan Bank Indonesia memang menyebutkan bahwa dampak implatoar kenaikan harga BBM tak sampai 1 persen. Tapi kenyataan di lapangan bicara lain. Khalayak luas amat merasakan bahwa dampak kenaikan harga BBM terhadap perkembangan harga aneka barang dan jasa sungguh luar biasa.

Kalangan ibu-ibu rumah tangga sudah hapal betul: tambahan pengeluaran belanja akibat kenaikan harga BBM bukan sekadar nol sekian persen, tapi bisa 10 atau bahkan 20 persen! Apalagi jika kenaikan harga BBM terbilang signifikan -- misalnya 25 persen atau bahkan 40 persen sebagaimana skenario sementara pemerintah.

Jadi, beban ekonomis yang harus ditanggung masyarakat akibat kenaikan harga BBM ini sungguh berlipat-lipat. Masyarakat tidak bisa hanya harus menanggung kenaikan harga BBM an sich. Bagi masyarakat lapisan bawah -- kelompok prasejahtera atau kelompok miskin --, kenyataan itu merupakan masalah serius: daya beli mereka kian tersungkur.

Justru itu pula, seperti hasil penelitian Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, kenaikan harga BBM menambah kemiskinan di tengah masyarakat -- paling tidak dalam jangka pendek.

Namun, kita berpendirian bahwa itu tidak berarti pemerintah jangan menaikan harga BBM. Kita sepakat bahwa subsidi BBM yang selama ini dikucurkan pemerintah relatif sedikit dinikmati masyarakat kurang mampu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan berkantung tebal, termasuk dunia industri.

Dengan kata lain, subsidi BBM sudah terbukti salah sasaran. Dana yang dikucurkan untuk itu praktis lebih banyak menguap menjadi asap kenalpot kendaraan bermotor atau cerobong asap industri. Padahal dana yang dialokasikan sebagai subsidi BBM ini jelas terbilang besar. Terlebih jika harga minyak mentah di pasar internasional melambung: dana subsidi BBM yang harus disediakan pemerintah kian membengkak.

Jadi, kita setuju dan mendukung rencana pemerintah menaikkan harga BBM ini. Langkah tersebut sungguh strategis dalam memotong atau menghentikan aliran dana subsidi ke kelompok mampu.

Memang, seperti sudah disinggung, kenaikan harga BBM serta-merta memukul daya beli masyarakat lapisan bawah menjadi semakin tersungkur. Justru itu, program kompensasi kenaikan harga BBM -- notabene khusus ditujukan kepada kelompok masyarakat yang paling terpupuk oleh kenaikan itu -- menjadi relevan. Hanya, alokasi dana untuk itu perlu dibuat lebih maksimal. Jika tidak bisa 100 persen, dana eks subsidi BBM yang dialihkan sebagai dana kompensasi paling tidak bisa mencapai di atas 75 persen.

Dengan demikian, program kompensasi tidak lagi terasa sekadar seperti pelipur lara bagi masyarakat miskin terkait keputusan pemerintah memutus aliran dana subsidi BBM ke kelompok mampu. Bahwa itu tidak banyak membantu menutup defisit dalam APBN, memang benar. Tapi bukankah sejak awal pengucuran subsidi BBM ini dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat lapisan bawah?

Jadi, tidak fair jika sebagian besar dana eks subsidi BBM malah dialirkan ke pos lain, sementara masyarakat miskin cukup diberi sekadar pelipur lara. Lagi pula, soal defisit APBN masih mungkin disiasati lewat upaya lain. Misalnya memanfaatkan moratorium utang yang ditawarkan kalangan negara kreditur.***
Jakarta, 04 Februari 2005

Tidak ada komentar: