12 Januari 2005

Lepas dari Daftar Hitam FATF

Indonesia adalah pesakitan Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering. Sejak tahun 2001 silam, FATF memasukkan Indonesia ke daftar negara tidak kooperatif (NCCT's) bersama beberapa negara lain, yakni Nauru, Pilipina, Myanmar, Kepulauan Cook, dan Nigeria. Status tersebut disandangkan karena Indonesia dinilai termasuk tidak serius membangun rezim antipencucian uang.

Dengan status itu, Indonesia -- juga Nauru, Pilipina, Myanmar, Kepulauan Cook, dan Nigeria -- praktis dianggap sebagai "najis" yang harus dijauhi karena menjadi sarang segala macam uang haram. Di sisi lain, status sebagai negara tidak kooperatif juga membuat dunia internasional terkondisikan menilai Indonesia tidak aman untuk dijadikan mitra transaksi keuangan. Karena itu, biaya transaksi bisnis dengan Indonesia pun menjadi mahal serta memakan waktu lama.

Risiko tersebut bisa makin serius kalau saja FATF kemudian memutuskan menjatuhkan sanksi mematikan (counter measures): mengisolasi Indonesia dari percaturan transaksi keuangan internasional. Itu bisa terjadi manakala FATF menilai Indonesia sudah tak bisa ditoleransi lagi karena tak kunjung kooperatif dalam membangun rezim antipencucian uang.

Counter measures bisa serta-merta mematikan suatu negara karena FATF sendiri beranggotakan negara-negara yang amat berpengaruh di dunia. Sebut saja AS, Jepang, atau Uni Eropa. Mereka bisa memaksakan negara-negara lain agar mengisolasi negara yang terkena sanksi FATF. Banyak negara niscaya takzim mengikuti keputusan FATF karena mereka tidak ingin turut dikelompokkan sebagai negara yang juga tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pencucian uang -- dan karena itu berisiko terkena sanksi counter measures pula.

Sebenarnya pemerintah Indonesia sendiri telah berupaya mengayun langkah yang memungkinkan Indonesia tak lagi masuk daftar hitam FATF ini. Secara kelembagaan, antara lain, Indonesia mengeluarkan UU Tindak Pencucian Uang. Bahkan, sebagai jawaban atas tekanan FATF, tak sampai dua tahun undang-undang tersebut sudah diamandemen segala.

Di sisi lain, pemerintah juga membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Lembaga ini khusus berperan menegakkan rezim antipencucian uang. Misalnya, mengawasi dan mencatat setiap transaksi keuangan layak dicurigai merupakan tindak pencucian uang. PPATK kemudian menyerahkan catatan tersebut ke instansi penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, guna ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.

Namun berbayai upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka membangun rezim antipencucian uang ini belum juga membuahkan hasil. Sidang FATF yang saban tahun digelar, tetap saja menempatkan Indonesia sebagai negara yang masuk daftar hitam NCCT's. Artinya, Indonesia tetap dianggap sebagai negara yang tak serius memberantas tindak pencucian uang.

Walhasil, berbagai upaya Indonesia selama ini membangun rezim antipencucian uang seolah sama sekali tak bermakna. FATF seolah tak sedikit pun memberikan tanggapan positif. Ini, seperti kata Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, terasa tidak fair. Pertama, karena Indonesia tak pernah diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan atau argumentasi berkaitan dengan status tidak kooperatif yang disandangkan FATF.

Kedua, kenyataan juga menunjukkan bahwa sejumlah negara yang jelas-jelas tidak menerapkan rezim antipencucian uang malah tak masuk daftar hitam FATF. Sebut saja Kepulauan Cayman atau Singapura yang selama ini dikenal sebagai surga bagi para koruptor kelas kakap.

Karena itu, boleh jadi benar, penilaian FATF tidak sepenuhnya obyektif. Itu pula yang membuat Yusril berani menyimpulkan bahwa penempatan Indonesia dalam daftar hitam FATF lebih bersifat politis ketimbang atas dasar alasan-alasan teknis.

Kalau begitu duduk soalnya, kita bisa memahami atau bahkan menyokong langkah pemerintah berupaya mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam FATF dengan menempuh jalur diplomasi tingkat tinggi. Langkah tersebut terutama ditujukan kepada negara-negara yang punya pengaruh kuat di tubuh FATF.

Menurut Yusril, Presiden Yudhoyono segera menyurati pemerintah Australia, Jepang, AS, Hong Kong, Selandia Baru, dan Uni Eropa agar menggiring FATF lebih obyektif dan fair menilai Indonesia dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang. Dengan demikian, sidang FATF tahun ini diharapkan mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam tadi.

Kita tentu saja amat berharap diplomasi tingkat tinggi itu membuahkan hasil nyata. Namun kita juga berkeyakinan bahwa Indonesia niscaya bisa keluar dari daftar hitam FATF bila upaya kita membangun rezim antipencucian uang tetap gencar serta kian konsisten dan konsekuen dilakukan. Jujur saja, penilaian FATF -- bahwa Indonesia belum sungguh-sungguh memberantas tindak pencucian uang -- tak bisa dikatakan mengada-ada. Buktinya, antara lain, belum seorang pun tersangka dikenai UU Tindak Pencucian Uang.

Justru itu, jika langkah pembangunan rezim antipencucian uang ini masih saja banyak diwarnai kepura-puraan, diplomasi tingkat tinggi bisa mandul. Bahkan jangan-jangan itu hanya jadi bahan tertawaan!***
Jakarta, 12 Januari 2005

Tidak ada komentar: