07 Januari 2005

Jerat Moratorium Utang

Ada tiga isu amat menarik yang mengemuka ke hadapan publik dalam dua hari terakhir. Pertama, Presiden Sosulo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla tandas menyatakan bahwa pemerintah menyambut baik gagasan tentang penghentian sementara pembayaran utang (debt moratorium) yang dilontarkan beberapa negara kreditur kita. Dengan itu, pimpinan nasional seolah mematahkan keengganan menteri-menteri kita memanfaatkan niat baik beberapa negara kreditur itu.

Dalam konteks ini, Presiden Yudhoyono maupun Wapres Jusuf Kalla terkesan mengabaikan kekhawatiran kalangan menteri bahwa moratorium utang bisa justru menjadi disinsentif bagi kepentingan ekonomi nasional -- karena, menurut mereka, Indonesia bisa dianggal mengalami gagal bayar (default). Yudhoyono dan Kalla, tampaknya, menilai kekhawatiran itu berlebihan.

Di lain pihak, mereka berdua juga kelihatan tak ingin kehilangan momentum yang ditawarkan kalangan negara kreditur tadi -- karena niscaya meringankan beban fiskal di tengah tuntutan mendesak merekontruksi Aceh dan Nias yang menjadi korban bencana gempa serta gelombang pasang tsunami pada 26 Desember lalu.

Isu kedua, lembaga pemeringkat Standar & Poor's (S&P) menyatakan bahwa moratorium utang tak serta-merta membuat peringkat surat utang Indonesia di mata dunia internasional jadi jatuh. Ini tak lain, menurut mereka, karena Indonesia bukan sudah tak mampu membayar utang, melainkan karena force majeur berupa bencana gempa dan tsunami yang demikian dahsyat serta memaksa pemerintah harus segera menyiapkan dana amat besar guna keperluan rekonstruksi daerah korban bencana.

Lagi pula, negara-negara kreditur menawarkan moratorium utang lebih karena kemurahan hati mereka terhadap negara debitur yang tertimpa bencana. Jadi, tawaran moratorium sama sekali tak mencerminkan penilaian negara kreditur bahwa kita sudah tidak mampu membayar utang alias default.

Pernyataan S&P itu juga mematahkan asumsi menteri-menteri kita yang belum-belum sudah "alergi" terhadap moratorium utang yang ditawarkan kalangan kreditur kita. Sebelum Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla menyatakan bahwa pemerintah akan merespons positif tawaran kalangan kreditur itu, menteri-menteri kita begitu kukuh menyatakan bahwa moratorium utang berisiko menurunkan peringkat obligasi pemerintah karena dunia internasional niscaya menilai kita mengalami default.

Tapi jika lembaga pemeringkat internasional sekaliber S&P sendiri ternyata membantah asumsi itu, tidakkah kita memang beralasan memanfaatkan tawaran moratorium utang yang diajukan kalangan kreditur kita?

Isu ketiga merujuk pada sinyal yang dilontarkan pemerintah Jepang. Mereka menyatakan mendukung moratorium utang negara-negara korban bencana tsunami seperti Indonesia. Ini
sungguh surprised, karena konstitusi Jepang sendiri sebenarnya melarang negeri tersebut memberikan fasilitas penundaan pembayaran utang bagi negara debitur.

Kita tidak tahu bagaimana pemerintah Jepang bisa menyiasati kendala perundangan terkait dengan moratorium utang negara-negara korban tsunami ini. Yang pasti, sikap mereka tadi praktis menambah deretan negara yang komit memberikan moratorium utang. Sejauh ini, komitmen tersebut sudah dilontarkan Jerman, Prancis, Inggris, AS, dan terakhir Jepang.
Tiga negara yang disebut pertama, di samping mengemukakan komitmen masing-masing, sudah mendesak negara kelompok delapan (G-8) agar memberikan moratorium utang terhadap negara-negara korban tsunami.

Selama ini, usulan seperti itu amat tergantung pada sikap AS dan Jepang sebagai kreditur terbesar negara-negara korban tsunami. Tapi setelah kini AS dan Jepang sendiri komit mendukung fasilitas moratorium, tentu negara-negara maju lain anggota G-8 pun tak terlalu sulit diharapkan memberikan komitmen serupa.

Itu berarti, bagi kita, peluang beroleh penundaan pembayaran utang sungguh terbuka lebar. Ini amat melegakan karena moratorium utang niscaya berdampak signifikan terhadap pengurangan beban anggaran negara di tengah tuntutan mendesak pascabencana. Untuk merekonstruksi daerah korban gempa dan tsunami, kita membutuhkan dana amat besar.

Presiden Yudhoyono sendiri dalam forum KTT Khusus ASEAN Pascabencana Gempa dan Tsunami yang digelar di Jakarta -- notabene diikuti sejumlah kepala pemerintahan dan kepala negara, termasuk Sekjen PBB Kofi Annan -- mengungkapkan bahwa dana yang dibutuhkan itu bernilai sekitar 2 miliar dolar.

Justru itu, kalau saja tak beroleh moratorium, anggaran kita niscaya babak-belur. Padahal tanpa tuntutan kebutuhan merekonstruksi daerah korban bencana pun, APBN kita sudah defisit lumayan besar.

Karena itu, kita amat menghargai sikap tegas Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla: menerima tawaran moratorium utang yang digulirkan kalangan negara kreditur. Tinggal bagaimana tawaran tersebut dinegosiasikan agar tidak menyengsarakan atau bahkan menjerat kita di kemudian hari, termasuk tidak menyeret kita kembali terikat program IMF.***
Jakarta, 7 Januari 2005

Tidak ada komentar: