04 Januari 2005

Akal Sehat A Good Boy

Adalah amat beralasan jika pemerintah meminta pemotongan pokok utang (hair cut alias debt relief) kepada negara kreditur ataupun lembaga donor. Di satu sisi, jumlah utang luar negeri kita yang sudah segunung praktis sudah membuat kemampuan anggaran kita jadi amat terbatas. Dengan total utang sekitar 75,9 miliar dolar, tahun ini APBN harus mengalokasikan dana sekitar Rp 70 triliun untuk mencicil pokok utang plus bunga pinjaman.

Kenyataan itu pula yang membuat anggaran kita selalu mengalami defisit. Realisasi defisit APBN 2004, misalnya, bernilai Rp 27,8 triliun atau 1,4 persen produk domestik bruto (PDB). Sementara untuk APBN 2005, pemerintah memerkirakan bahwa angka defisit ini lebih tinggi lagi: 1,5 persen PDB.

Dalam kondisi seperti itu, sekarang ini kita dihadapkan pada tuntutan amat mendesak: rekonstruksi Aceh yang menjadi daerah korban gempa dan gelombang tsunami. Konon, dana yang dibutuhkan untuk itu -- tidak termasuk untuk pengobatan masyarakat dan program sanitasi daerah korban tsunami -- paling tidak bernilai Rp 15 triliun.

Padahal di beberapa daerah di luar Aceh pun, kebutuhan untuk keperluan rekonstruksi pascabencana alam tak kalah kecil dan tak kurang mendesak pula. Nabire yang tempo hari diguncang gempa dahsyat, misalnya, jelas menuntut rekonstruksi ini.

Walhasil, beban yang harus dipikul pemerintah sungguh amat berat. Padahal, sekali lagi, kemampuan keuangan pemerintah sangat terbatas. Bahkan, karena anggaran sudah defisit, secara obyektif kemampuan tersebut sudah tak dimiliki pemerintah.

Barangkali atas pertimbangan itu pula, pekan lalu Kanselir Jerman Gerhard Schroeder melontarkan gagasan menarik. Dia mengajak 19 kreditur anggota Paris Club memberikan moratorium utang bagi negara-negara korban tsunami, termasuk Indonesia. Lebih menarik lagi, ajakan tersebut segera disambut positif empat negara, yakni Prancis, Italia, AS, dan Kanada.

Bagi kita, khususnya, gagasan itu sungguh melegakan. Paling tidak, gagasan itu membuat kita beroleh momentum untuk menanggalkan beban keuangan terkait utang. Itu menjadi momentum istimewa, karena pembahasan tentang masalah utang dalam konteks Paris Club ini sejatinya tak bisa sembarangan dilakukan.

Biasanya, Paris Club hanya bersedia menegoisasikan keringanan utang sepanjang negara debitur terkait program Dana Moneter Internasional (IMF). Kita sendiri, sejak tahun 2003, sudah tak lagi punya sangkut-paut dengan paket penyelamatan ekonomi IMF.

Jadi, gagasan Schroeder tadi sungguh merupakan momentum istimewa -- dan karena itu selayaknya jangan sampai lepas begitu saja. Artinya, kita harus memanfaatkan betul momentum tersebut hingga kesemua anggota Paris Club bersedia memberikan fasilitas moratorium utang bagi kita.

Dengan demikian, untuk sementara pemerintah bisa bernapas lega karena tak harus menanggung beban utang. Dengan itu pula, pemerintah bisa segera menjawab tuntutan mendesak berupa rekontruksi daerah-daerah yang parah diterjang bencana alam.

Namun, memang, moratorium utang tidak menyelesaikan masalah. Ibarat obat penghilang rasa sakit, moratorium utang hanya menunda untuk sementara waktu masalah beban keuangan yang harus dipikul pemerintah. Manakala moratorium yang disepakati berakhir, seketika itu pula beban utang kembali menjadi masalah yang menyesakkan dan amat membatasi ruang gerak anggaran.

Justru itu, momentum yang digulirkan Schroeder tadi harus mampu kita olah menjadi lebih menguntungkan kita. Kita harus sungguh-sungguh bisa meyakinkan forum Paris Club agar mereka tidak lagi sekadar menyepakati moratorium utang, melainkan setuju memberikan debt relief atau hair cut.

Peluang ke arah itu bukan ilusi. Menanggapi gagasan Schroeder, Italia menyebutkan bahwa negara korban gempa dan tsunami seperti Indonesia tak cukup sekadar diberi moratorium utang, melainkan beralasan menerima diskon utang alias debt relief. Jadi, bola liar sudah bergulir. Kita harus memanfaatkan boleh tersebut sebaik mungkin hingga menjadi gol emas!

Tapi, soalnya, pemerintah kita sendiri terkesan enggan. Belum-belum pemerintah sudah menafikan ihwal debt relief atupun hair cut ini. Jangankan meminta debt relief, bahkan mengajukan moratorium utang saja tak akan dilakukan pemerintah. Mereka beralasan, status kita sebagai negara yang selama ini taat membayar utang tidak boleh rusak.

Jadi, pemerintah keberatan jika kita tidak lagi beroleh julukan a good boy. Padahal status tersebut justru menyesatkan sekaligus mencelakakan: kita makin jauh terjerembab dalam jebakan utang (debt trap). Buktinya, di tengah tumpukan utang yang sudah demikian besar, tahun ini pemerintah akan mengajukan pinjaman baru senilai 2,4 miliar dolar ke forum Consultative Group on Indonesia (CGI).

Jelas, karena itu, kita tak bisa paham oleh sikap pemerintah yang lebih memilih menambah utang ketimbang berupaya beroleh pengurangan pinjaman ini. Akal sehat a good boy?***
Jakarta, 4 Januari 2005

Tidak ada komentar: