21 Desember 2004

Kenapa Elpiji Naik?

Dari sisi konsumen, sangat wajar kenaikan harga elpiji serta Pertamax dan Pertamax Plus serta-merta mengundang reaksi keras. Ihwal kenaikannya itu sendiri, barangkali, tak terlampau mengejutkan. Maklum karena selama dua-tiga bulan belakangan ini pemerintah sudah gembar-gembor menggelindingkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Dalam konteks itu, agaknya, masyarakat pun sudah sedikit bisa memahami rencana tersebut -- yakni karena pemerintah tak mungkin mampu memikul subsidi BBM yang menjadi amat besar terkait kenaikan harga minyak mentak di pasar dunia.

Tetapi masyarakat sungguh dibuat terpana: ternyata kenaikan harga elpiji mencapai 41 persen, sementara harga Pertamax dan Pertamax Plus naik 60 persen lebih. Jika semula harga elpiji adalah Rp 3.000, kini naik menjadi Rp 4.250 per kilogram. Sedangkan Pertamax dan Pertamax Plus kini masing-masing berharga Rp 4.000 (semula Rp 2.450) per liter dan Rp 4.200 (semula Rp 2.750) per liter.

Angka kenaikan ketiga komoditas itu jelas amat terasa menohok. Bahkan mungkin sama sekali di luar perkiraan masyarakat. Itu pula yang serta-merta mengundang publik melontarkan kecaman: bahwa kenaikan harga ketiga komoditas itu sungguh kelewatan.

Bagi masyarakat konsumen, mestinya langkah tersebut dilakukan bertahap hingga tak terasa menohok. Itu makin beralasan karena dalam waktu dekat pemerintah hampir pasti menyusul menaikkan harga beberapa jenis BBM lain yang selama ini memeroleh subsidi. Padahal langkah itu pun niscaya melahirkan efek ikutan yang tak terhindarkan lagi: harga aneka barang dan jasa naik pula.

Tetapi dari sisi produsen, kenaikan harga elpiji serta Pertamax dan Pertamax Plus ini jelas bukan tanpa alasan rasional. Pertama, sesuai amanat UU No 22/2001 tentang Migas, karena ketiga komoditas itu merupakan bisnis non-BBM Pertamina yang tak lagi diatur-atur pemerintah. Karena itu pula, kenaikan harga ketiga komoditas tersebut bukan merupakan keputusan pemerintah, melainkan murni hasil pertimbangan Pertamina sendiri.

Kedua, kenaikan harga elpiji dan Pertamax serta Pertamax Plus itu sendiri memang sungguh relevan dan urgen: agar Pertamina tidak menanggung rugi, bahkan mampu menuai untung. Jika harga ketiga komoditas itu tak dinaikkan, sementara harga minyak mentah di pasar dunia telanjur membumbung, Pertamina niscaya harus menombok sebagaimana terjadi selama ini.

Tentu, itu tak sejalan dengan prinsip yang melekat pada Pertamina sendiri sebagai badan usaha yang harus mampu menangguk keuntungan. Terlebih lagi, bagi Pertamina, bisnis ketiga komoditas itu bukan dalam rangka melaksanakan penugasan pemerintah alias murni bisnis.

Kita tidak tahu bagaimana hitung-hitungannya hingga kenaikan harga elpiji berserta Pertamax dan Pertamax Plus ini demikian signifikan. Yang pasti, dengan kenaikan itu Pertamina tak lagi menanggung rugi alias pasti bisa menuai untung. Besaran keuntungannya itu sendiri, jelas hanya Pertamina sendiri yang tahu persis.

Namun justru itu letak masalah yang membuat kenaikan harga elpiji dan Pertamax serta Pertamax Plus pun jadi agak resisten. Khalayak luas mengira bahwa dengan kenaikan yang demikian signifikan, Pertamina pasti menangguk untung amat besar. Itu pula yang membuat masyarakat menilai Pertamina telah bertindak kebangetan. Mereka menilai Pertamina sewenang-wenang hanya karena kemaruk ingin meraup untung besar.

Asumsi atau keyakinan seperti itu jelas harus bisa diredam. Jika tidak, ibarat bola salju, resistensi masyarakat mengenai kenaikan harga elpiji dan Pertamax berserta Pertamax Plus ini akan terus meluas dan membesar. Terlebih lagi, seperti sudah disinggung, secara psikologis masyarakat juga sudah telanjur down oleh risiko ekonomi yang niscaya muncul manakala pemerintah jadi menaikkan harga BBM dalam waktu dekat ini.

Itu berarti, Pertamina harus bisa menjelaskan lebih dalam duduk soal bisnis non-BBM yang tak lagi diatur-atur pemerintah ini. Pertamina juga harus bisa meyakinkan publik bahwa kenaikan harga ketiga komoditas tadi sungguh sulit bisa dihindari -- termasuk kenapa besaran kenaikan itu sendiri demikian signifikan.

Dalam konteks itu, publik juga harus bisa dibuat percaya dan yakin bahwa operasional Pertamina sudah semakin efisien. Artinya, Pertamina dituntut mampu memberikan penjelasan meyakinkan bahwa kenaikan harga ketiga komoditas itu bukan merupakan beban tambahan yang dilimpahkan kepada konsumen terkait inefisiensi di berbagai lini.

Sejalan dengan itu, Pertamina dituntut pula mampu memberi garansi bahwa kenaikan harga ketiga komoditas tadi akan diikuti dengan peningkatan mutu layanan. Kalangan rumah tangga yang notabene merupakan konsumen elpiji, misalnya, harus bisa diyakinkan bahwa mereka tak bakalan lagi menerima produk yang tak sesuai berat timbangan.

Tetapi bagaimana jika ternyata Mahkamah Konstitusi memutuskan membatalkan UU No 22/2001 tentang Migas? Tidakkah kenaikan harga elpiji dan Pertamax serta Pertamax Plus pun dengan sendirinya batal pula?***
Jakarta, 21 Desember 2004

Tidak ada komentar: