17 Desember 2004

Gombalnya Perbankan Kita

Wajar jika orang kini memelesetkan Bank Global menjadi Bank Gombal. Bagaimanapun, memang, sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh Bank Indonesia jelas merupakan bukti tak terbantahkan tentang kegombalan Bank Global ini. Sanksi itu dijatuhkan otoritas perbankan karena kondisi keuangan Bank Global terus memburuk. Terakhir, rasio kecukupan modal (CAR) bank tersebut tercatat minus 39 persen.

Angka itu jauh di bawah CAR minimal yang dipatok Bank Indonesia sendiri sebesar 8 persen. Justru itu pula, berarti keuangan Bank Global memang amat buruk. Parah. Padahal laporan keuangan yang diterbitkan per September 2004 menunjukkan bahwa kondisi Bank Global masih sehat. Bahkan, kala itu, CAR mereka terbilang kuat -- yakni sebesar 44,84 persen alias jauh di atas CAR minimal yang disyaratkan Bank Indonesia.

Jadi, hanya dalam tempo sekitar dua bulan, kondisi keuangan yang begitu kuat itu berubah total menjadi buruk sekali. Jika karena faktor rasional-obyektif, perubahan drastis itu tak akan terlalu membuat kita terpana. Tapi karena ternyata bukan karena faktor-faktor obyektif menurut kaidah akuntansi, kondisi keuangan yang berubah menjadi buruk dalam tempo relatif singkat itu sungguh sulit dipahami.

Dalam konteks itu, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Belakangan terungkap bahwa sesuatu yang tidak beres itu adalah surat berharga (reksadana) fiktif dan kredit fiktif. Keduanya pula yang serta-merta menguak kenyataan bahwa CAR Bank Global sebenarnya minus 39 persen.

Dengan kata lain, kondisi keuangan bank Global yang per September lalu terkesan sehat dan kuat itu tak lebih merupakan kegombalan. Pada saat itu, sesungguhnya, keuangan bank tersebut sudah berdarah-darah.

Justru itu, mestinya, mustahil Bank Indonesia selaku otoritas perbankan kita sampai luput mengetahui sejak dini kondisi keuangan Bank Global ini. Adalah naif jika Bank Indonesia sampai terkecoh oleh kegombalan yang dibuat manajemen Bank Global mengenai kondisi keuangan bank tersebut.

Karena itu, seperti kata kalangan pengamat perbankan, tindak pembekuan kegiatan usaha Bank Global ini memang terasa terlambat. Mestinya tindakan tersebut sudah dijatuhkan Bank Indonesia sejak jauh hari. Dengan demikian, kebokbrokan manajemen Bank Global tak harus sampai memakan korban lebih banyak, di samping pihak yang harus bertanggung jawab juga tak mesti sampai bisa lolos kabur ke luar negeri.

Menurut kabar yang santer beredar, Bank Indonesia sejak beberapa bulan silam sebenarnya sudah mengetahui bahwa kondisi keuangan Bank Global sudah memburuk. Dalam konteks ini, tim pemeriksa Bank Indonesia disebut-sebut memang sudah mengetahui berbagai kejanggalan di Bank Global sejak pertengahan tahun ini.

Kalau benar demikian, kenapa Bank Indonesia tak segera melakukan tindakan sejak dini? Juga, seperti kata Ketua Masyarakat profesional Madani Ismed Hasan Putro, kenapa Bapepam sempat beberapa kali menyatakan bahwa produk reksadana yang dijual Bank Global tidak bermasalah? Tidakkah itu mengondisikan investor di pasar modal jadi terjebak membeli barang "busuk" -- notabene tak dilindungi program penjaminan pemerintah seperti produk simpanan di bank (tabungan dan deposito)?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu jelas membutuhkan jawaban gamblang, terbuka, dan obyektif. Jika tidak, kita khawatir kita terkondisi tak pernah mau belajar pada pengalaman sehingga kasus serupa lagi-lagi terulang di masa depan.

Kemungkinan ke arah itu bahkan sudah terasa menggejala. Buktinya, sebelum kasus Bank Global sekarang ini pun, dunia perbankan nasional sudah diguncang beberapa kasus serupa. Tahun ini saja, kita sempat dibuat gempar oleh kasus Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali.

Kedua bank itu dilikuidasi karena melakukan transaksi tidak jujur dan merugikan publik. Bank Asiatic divonis melakukan transaksi surat berharga (obligasi dan saham) melalui sebuah perusahaan efek. Namun efek yang ditransaksikan disimpan di sebuah kustodian yang belakangan ketahuan tidak terdaftar di Bapepam. Bahkan kustodian itu pun diduga fiktif.

Di lain pihak, Bank Dagang Bali juga melakukan modus hampir serupa melalui perusahaan sebuah efek lain lagi. Padahal menurut Bapepam, operasional perusahaan efek itu dalam status dihentikan sementara sejak Januari 2003.

Sementara itu, seperti kata Gubernur Bank Indonesia sendiri, beberapa bank kecil sekarang ini juga dililit masalah serius berupa kinerja yang tidak sehat. Kalau masalah tersebut tak segera dicarikan jalan keluar, kita khawatir mereka pun tergerak coba-coba melakukan kegombalan yang mengecoh dan merugikan khalayak. Jika masalah yang membelit bank-bank itu sudah terbilang gawat, tindakan tegas hendaknya segera dijatuhkan. Dengan demikian, mereka tak harus ambruk dengan menelan korban banyak dengan nilai tidak kecil pula.***
Jakarta, 17 Desember 2004

Tidak ada komentar: