03 Desember 2004

Rasa Percaya Diri Kita

Dalam forum Pertemuan Puncak ASEAN di Vientiane (Laos), enam pemimpin negara anggota ASEAN -- Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina, dan Brunei Darussalam -- menyepakati percepatan penghapusan tarif bea masuk atas 11 komoditas.

Jika semula penghapusan tarif bea masuk di ASEAN ini direncanakan dimulai sejak tahun 2010, dengan kesepakatan itu liberalisasi perdagangan 11 sektor dipercepat menjadi tahun 2007. Sementara empat negara lain anggota ASEAN -- Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam -- baru melakukan penghapusan tarif bea masuk ini mulai tahun 2012.

Kesebelas sektor itu sendiri meliputi kayu, perikanan, perawatan kesehatan, karet, turisme, e-commerce, tekstil dan pakaian jadi, penerbangan, pertanian, otomotif, dan elektronik. Tarif bea masuk untuk sebagian dari 11 sektor itu maksimum hanya boleh 5 persen, dan sebagian lagi menjadi antara 0-2 persen saja.

Lalu apa arti kesepakatan itu bagi kita? Menurut perspektif pemerintah, kesepakatan itu menunjukkan rasa percaya diri kita begitu tinggi. Yaitu bahwa produk-produk kita yang tercakup dalam kesebelas sektor tadi siap bersaing di pasar ASEAN.

Selama ini, hambatan tarif membuat produk-produk kita relatif sulit bisa masuk menembus pasar di negara-negara ASEAN. Demikian juga sebaliknya, hambatan tarif membuat pasar kita tak leluasa direcoki berbagai produk negara-negara mitra kita di ASEAN.

Tetapi kelak mulai tahun 2007, pasar di enam negara ASEAN jadi lebih longgar. Di satu sisi, produk-produk negara-negara mitra kita di ASEAN bisa leluasa mengalir masuk dan membanjiri pasar lokal kita. Tapi di sisi lain, produk-produk kita pun bisa leluasa dilempar ke pasar enam negara itu. Kenyataan tersebut bahkan kemudian menjadi lebih luas lagi -- meliputi seluruh negara ASEAN -- mulai tahun 2012.

Kita tidak tahu landasan apa yang membuat pemerintah begitu yakin akan daya saing produk-produk kita dalam konteks liberalisasi 11 sektor di ASEAN ini -- juga terkait komitmen kita ke arah pembentukan Pakta Perdagangan Bebas Cina-ASEAN (CAFTA) yang tertoreh dalam pertemuan para pemimpin ASEAN-Cina di Laos. Yang pasti, keyakinan seperti itu bukan kali pertama ini ditunjukkan pemerintah. Hampir dalam setiap forum perundingan liberalisasi perdagangan internasional, kita selalu menunjukkan rasa percaya diri begitu kuat.

Kalau saja kenyataan di lapangan benar-benar obyektif, barangkali, itu tak jadi soal. Tapi bila dunia usaha kita masih sarat digayuti inefisiensi -- notabene juga berarti kurang berdaya saing -- rasa percaya diri itu sungguh menyesatkan. Itu juga bisa berbahaya karena arus masuk produk-produk luar niscaya malah mematikan industri kita dengan segala konsekuensinya.

Karena itu, dunia usaha nasional menunjukkan sikap risau oleh kesepakatan yang tertoreh dalam Pertemuan Puncak ASEAN di Laos ini. Memang, bagi dunia usaha, dengan atau tanpa kesepakatan globalisasi pun, persaingan bisnis harus selalu siap dihadapi. Tetapi itu bukan tanpa prasyarat. Jika daya saing yang dimiliki tak memadai, globalisasi niscaya hanya melahirkan mudharat.

Faktanya, memang, dunia usaha nasional kita tak bisa dibilang sehat. Dalam konteks keuangan, misalnya, dunia usaha kita masih terbebani suku bunga pinjaman yang terbilang relatif tinggi dibanding di sejumlah negara lain di ASEAN.
Jadi, dengan dukungan pembiayaan yang tidak murah, bagaimana bisa industri kita mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi. Belum lagi kalau mengingat kualitas sumberdaya manusia kita juga relatif masih tertinggal dibanding negara-negara lain di ASEAN. Begitu pula produktivitas sumberdaya manusia kita ini: relatif rendah dibanding di kebanyakan negara ASEAN.

Padahal di luar kelemahan-kelemahan itu, dunia usaha nasional juga masih digayuti sejumlah masalah lain seperti perizinan yang tidak murah, kebijakan pusat dan daerah yang acar tidak sinkron, ketentuan perpajakan yang jlimet dan tidak ringan, atau pungutan liar yang merajalela. Semua itu jelas mengondisikan dunia usaha kita terbebani ekonomi biaya tinggi.

Atas dasar itu, bagaimana kita memahami sikap percaya diri yang begitu tinggi diperlihatkan pemerintah dalam konteks perjanjian globalisasi perdagangan, khususnya liberasasi 11 sektor di ASEAN? Barangkali, sikap tersebut kali ini harus kita baca sebagai isyarat pemerintahan sekarang untuk melakukan pembenahan mendasar dalam sektor ekonomi secara serius, konsisten, dan konsekuen.

Mengingat waktu yang tersedia praktis tinggi dua tahun sebelum penghapusan bea masuk 11 sektor di ASEAN efektif dimulai sejak tahun 2007, langkah ke arah itu jelas harus dituangkan dalam program aksi yang benar-benar komprehensif dan tajam terarah. Jika tidak, sikap percaya diri yang ditunjukkan pemerintah terkait komitmen ke arah globalisasi perdagangan ini sama sekali tidak masuk akal -- dan karena itu membahayakan kepentingan nasional.***
Jakarta, 03 Desember 2004

Tidak ada komentar: