07 Desember 2004

Sampai Kapan Tak Serius?

Kita tak pernah bersungguh-sungguh memberantas tindak pencucian uang (money laundering). Sikap-tindak kita mengenai pembangunan rezim antipencucian uang tidak lebih sekadar kosmetik atau basa-basi.

Buktinya, berbagai kasus tindak pencucian uang yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ke pihak kepolisian dan kejaksaan seolah menguap begitu saja. Seperti kata Ketua PPATK Yunus Husein di depan Komisi III DPR, kemarin, pihak kepolisian dan kejaksaan tak kunjung menindaklanjuti laporan PPATK tentang kasus tindak pencucian uang ini.

Akibatnya, jelas, UU Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi mandul. Undang-undang tersebut menjadi sama sekali tak berarti, kecuali sekadar jadi pajangan di instansi-instansi resmi. Padahal secara substantif, undang-undang tersebut cukup bisa diandalkan dalam menangkal dan menekan tindak pencucian uang.

Maklum, memang, karena materi undang-undang tersebut secara umum merupakan wujud "kepatuhan" kita terhadap tekanan dunia internasional, khususnya Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering yang memasukkan kita sebagai negara tidak kooperatif (NCCT's) dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang.

Tetapi, rupanya, sejak awal pembuatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang ini tidak dimaksudkan untuk memberantas tuntas berbagai bentuk tindak pencucian uang. Undang-undang tersebut sekadar dimaksudkan sebagai kosmetik dalam berhadapan dengan dunia internasional -- bahwa kita memiliki perangkat rezim antipencucian uang.

Maka tak heran jika undang-undang itu pun terkesan dirumuskan asal-asalan. Dunia internasional, dalam kaitan ini, menilai bahwa berbagai ketentuan dalam undang-undang itu tak cukup menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun rezim antipencucian uang sebagaimana tuntutan FATF.

Itu pula yang membuat FATF bersama berbagai negara yang menjadi anggotanya kemudian menuntut kita merevisi UU Tindak Pidana Pancucian Uang ini. Bahkan, dalam rangka itu, mereka sampai menyodorkan daftar masalah yang harus dimasukkan sebagai bahan revisi.

Karena berharap segera dikeluarkan dari daftar NCCT's -- notabene mengandung konsekuensi-konsekuensi serius bagi kita dalam tata pergaulan dunia internasional, khususnya di bidang keuangan dan bisnis -- lagi-lagi kita pun mematuhi tuntutan itu.

Maka UU Tindak Pidana Pencucian Uang hasil revisi pun menjadi produk "sempurna": bukan saja secara politis mengakomodasi aspirasi dunia internasional, melainkan juga secara substansial merupakan perangkat yang bisa diandalkan efektif memberantas tindak pencucian uang.

Tetapi karena sejak awal dimaksudkan sekadar sebagai pajangan atau kosmetik, UU Tindak Pidana Pencucian Uang ini terbukti mandul -- karena memang tak kunjung diterapkan pihak-pihak yang menjadi aparat penegak hukum. Menurut Yunus Husein, PPATK sudah mengajukan laporan tindak pencucian uang ini sebanyak 231 kasus kepada kepolisian dan kejaksaan. Tetapi, ujarnya, sejauh ini tak satu pun kasus itu yang ditindaklanjuti kepolisian maupun kejaksaan.

Entah apa yang menjadi alasan kepolisian dan kejaksaan sampai tak kunjung menindaklanjuti laporan PPATK mengenai kasus pencucian uang ini. Yang pasti, keengganan kedua instansi tersebut menegakkan hukum dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang ini niscaya menjadi lahan subur bagi berbagai tindak kejahatan di bidang keuangan. Orang menjadi sama sekali tidak ragu dan tak takut melakukan berbagai tindak yang merugikan orang banyak: korupsi, menyelundup, memanipulasi pajak, dan lain-lain. Orang menjadi tetap nyaman melakukan tindakan-tindakan ilegal itu karena mereka tak pernah beroleh efek kejut (shock therapy): bahwa hasil yang mereka peroleh atas kegiatan ilegal itu bakal mengantarkan dijatuhi sanksi pidana.

Di sisi lain, keengganan aparat menegakkan hukum dalam konteks rezim antipencucian uang ini juga membuat kita tetap sulit berharap bisa lepas dari daftar NCCT's yang dibuat FATF. Tak heran, kendati kita sudah membuat UU Tindak Pidana Pencucian Uang sesuai "petunjuk" FATF, kita terus saja masuk klasifikasi negara tak kooperatif dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang.

Padahal status NCCT's ini sudah kita sandang sejak tahun 2001 silam. Dalam setiap sidang FATF yang digelar tiap tahun, yang mengevaluasi posisi masing-masing negara, kita terus diputuskan tetap bercokol dalam klasifikasi NCCT's.

Sekali lagi, itu pertanda atau bukti bahwa kita tak sungguh-sungguh memberantas tindak pencucian uang. Padahal status NCCT's yang kita sandang sungguh merisaukan. Status tersebut bisa membuat negara lain -- sendiri-sendiri maupun serentak bersamaan -- secara sepihak mengucilkan kita dari tata pergaulan dunia bisnis dan keuangan internasional. Terlebih jika FATF kemudian memutuskan kita sebagai negara yang harus diisolasi: niscaya kita harus menanggung kesulitan-kesulitan keuangan yang musykil terpecahkan. Berbagai transaksi bisnis dan keuangan kita di dunia internasional
bisa benar-benar macet.

Jadi, sampai kapan kita tak serius membangun rezim antipencucian uang? Atau, haruskah kita benar-benar diisolasi dari pergaulan bisnis dan keuangan internasional?***
Jakarta, 07 Desember 2004

Tidak ada komentar: