14 Desember 2004

Kinerja Perpajakan

Pajak sejatinya merupakan tulang punggung ekonomi negara. Hasil penerimaan pajak idealnya menjadi sumber utama pengeluaran negara -- untuk belanja rutin maupun belanja pembangunan. Dengan demikian, pajak menjadi wahana partisipasi nyata rakyat dalam pengelolaan dan pembangunan negara. Melalui pembayaran pajak, rakyat terkondisikan ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan negara.

Tetapi di negara kita, pajak belum tampil menjadi sumber utama pembiayaan negara. Bahkan sejak awal kemerdekaan, fungsi pajak di negeri kita lebih sekadar menjadi sumber pelengkap penerimaan negara. Karena tax ratio relatif masih rendah -- di bawah 20 persen --, sumber penerimaan sekaligus sumber pembiayaan negara kita selama ini lebih banyak bertumpu pada pinjaman -- entah pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri.

Sikap-tindak kita selama ini yang keasyikan mengandalkan sumber penerimaan pada dana hasil utangan tak pelak lagi membuat kita sekarang harus menanggung beban utang demikian besar. Terlebih karena dana pinjaman itu banyak dikorupsi, sehingga akumulasi beban utang pun membuat kita kian megap-megap.

Tumpukan utang kita sudah demikian menggunung -- bahkan hingga melampaui kemampuan kita mengembalikannya. Dalam konteks ini, kita sudah sampai pada tahap membayar utang dengan hasil pinjaman baru. Seperti kata orang, kita sudah terjerembab pada pola hidup "gali lubang tutup lubang".

Dalam situasi seperti itu pula, banyak pihak belakangan ini kian tergerak menoleh pada pajak sebagai instrumen yang harus didayagunakan. Menurut mereka, pajak harus ditempatkan pada peran dan fungsi idealnya. Dengan kata lain, sudah saatnya pajak menjadi tulang punggung ekonomi negara.

Tetapi apa mau dikata: ketentuan perundangan, kebijakan, sistem, ataupun mekanisme perpajakan di negeri kita dinilai tidak mendukung keinginan itu. Di tengah harapan atau tuntutan mendesak agar sumber pembiayaan negara kita tak lagi bertumpu pada dana hasil berutang, kinerja perpajakan justru dinilai tak cukup bisa diandalkan.

Itu, antara lain, karena tingkat kebocoran atas penerimaan pajak masih terbilang tinggi. Lembaga Transparency International Indonesia (TII), misalnya, menyebutkan bahwa kebocoran atas penerimaan perpajakan ini mencapai 40 persen. Bahkan lembaga swadaya lain, seperti Masyarakat Profesional Madani menyatakan bahwa angka tersebut mencapai 50 persen. Lalu, di lain pihak, mantan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie pernah pula menyebutkan bahwa pada tahun anggaran 2003 saja nilai kebocoran pajak ini mencapai sekitar Rp 215 triliun.

Pernyataan-pernyataan seperti itu jelas tidak asal nyeplak alias punya argumentasi dan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Ditjen Pajak sendiri secara tidak langsung seperti membenarkan masalah tersebut. Dalam suatu kesempatan, Dirjen Pajak Hadi Purnomo mengungkapkan bahwa potensi kehilangan penerimaan pajak sekarang ini bernilai sekitar Rp 675 triliun.

Justru itu, mestinya, penerimaan pajak kita sudah cukup bisa diandalkan -- paling tidak mampu mengurangi tekanan yang membuat pemerintah harus terus mengambil pinjaman baru dalam jumlah tidak kecil. Kalau saja potensi kehilangan penerimaan pajak seperti disebutkan Hadi Purnomo tadi bisa diselamatkan, misalnya, itu niscaya memberi dampak luar biasa bagi keuangan negara. Angka itu bahkan sekitar dua kali lipat target penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 283 triliun!

Memang mengherankan bahwa kinerja perpajakan ini masih menorehkan banyak kebocoran. Terlebih karena kebocoran itu, seperti menurut telusuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terjadi antara lain karena praktik tawar-menawar antara oknum aparat pajak dan wajib pajak mengenai jumlah kewajiban pajak yang seharusnya masuk ke kas negara.

Kenyataan seperti itu mengherankan karena sistem perpajakan kita, sejak reformasi pada 1983, menganut asas self assessment. Dengan itu, mestinya, wajib pajak dan aparat pajak tak harus bertemu muka -- hingga membuka kemungkinan saling "main mata".

Namun, memang, aturan atau mekanisme apa pun selalu bisa diakali. Sepanjang niat tidak baik telanjur tertanam -- entah di pihak wajib pajak ataupun di kalangan petugas pajak --, aturan dan mekanisme sehabat apa pun selalu bisa ditelikung.

Itu pula yang membuat Ditjen Pajak selama ini terus melakukan pembenahan. Bahkan sanksi pemecatan terhadap oknum petugas pajak yang terbukti nakal pun saban tahun tak segan dijatuhkan.

Tetapi langkah-langkah itu terkesan tak terukur. Paling tidak, memang, karena langkah-langkah itu tidak berangkat dari satuan target yang disepakati secara terbuka. Karena itu, kontrak kinerja yang diteken Dirjen Pajak terasa menjadi beralasan. Dengan itu, berbagai pihak lebih gampang mengontrol dan menilai langkah Ditjen Pajak. Dengan itu pula, kelak kinerja perpajakan tak lagi terkesan sekadar klaim sepihak Dirjen Pajak ataupun penilaian sepihak lembaga pemantau.***
Jakarta, 14 Jakarta 2004

Tidak ada komentar: