10 Desember 2004

Pemberantasan Korupsi

Pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Pemberantasan Korupsi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono -- notabene ditandai dengan penerbitan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi --, kemarin, sungguh terasa mengundang greget.

Langkah tersebut sekali lagi serta-merta menumbuhkan harapan: bahwa korupsi sudah tak punya ruang berpijak di negeri kita. Bagaimanapun, langkah itu menunjukkan semangat dan tekad pemerintah menjadikan korupsi sebagai penyakit yang harus segera diberantas tuntas.

Korupsi di negeri kita memang sudah menjadi penyakit akut. Korupsi telanjur mewabah di mana-mana. Korupsi nyaris terjadi dalam setiap kesempatan dan dalam tiap tingkatan. Juga, korupsi tampil dalam aneka ragam bentuk. Pokoknya, dalam setiap urusan yang bersinggungan dengan kepentingan publik, hampir pasti di situ mewabah korupsi.

Karena itu, pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Pemberantasan Korupsi serta-merta ibarat tetesan air di tengah dahaga hebat. Dengan itu, kita seketika disadarkan bahwa pemerintah masih memiliki tekad dan semangat memberangus korupsi.

Tentu, kita amat berharap agar tekad dan semangat itu tidak berhenti sekadar di tahap pencanangan. Langkah pemberantasan korupsi jangan lagi sekadar retorika. Jangan seperti di masa lalu: langkah pemberantasan korupsi ternyata hanya gerakan "hangat-hangat tahi ayam" dan penuh kepura-puraan.

Memang, sebenarnya, tekad dan semangat memberantas tuntas korupsi ini bukan baru kali pertama ini ditunjukkan pemerintah. Bahkan di awal pemerintahan Orde Baru pun -- ketika fenomena korupsi di negeri kita belum sedahsyat sekarang ini -- tekad dan semangat itu sempat mencuat dengan gegap-gempita.

Tetapi berbagai langkah ke arah itu, termasuk pada pemerintahan-pemerintahan pasca-Orde Baru, akhirnya tak pernah jelas. Langkah-langkah pemberantasan korupsi selalu saja kandas begitu saja tanpa sebab-sebab pasti -- juga tanpa pernah ada penjelasan, sehingga terkesankan bahwa pemerintah tidak siap bersikap konsisten dan konsekuen.

Karena itu pula, fenomena korupsi di negeri kita terus berurat-berakar. Korupsi semakin menggurita ke mana-mana dalam berbagai skala maupun ruang dan waktu. Seolah membenarkan pendapat sang Proklamator Bung Hatta, yang pada zamannya mengundang kecaman berbagai pihak, korupsi di negeri kita semakin lama semakin pasti menjadi sebuah "budaya". Sampai-sampai ada sebuah anekdot: jika di masa lalu korupsi di negeri kita dilakukan di bawah meja, belakangan tindakan tersebut dilakukan terang-terangan di atas meja. Lalu, pada era sekarang, tindak korupsi ini bahkan sudah sampai pada tahap menilap mejanya sekalian!

Mampukah pemerintahan Presiden Yudhoyono memberantas korupsi yang telanjur membudaya ini? Tentu, soal tersebut amat bergantung pada kesungguhan pemerintah sendiri. Sepanjang faktor kesungguhan tersebut ternyata hanya basa-basi, pemerintahan Yudhoyono pun niscaya hanya mengulang "sejarah": korupsi gagal diberantas.

Justru itu, dalam rangka memberantas korupsi ini, segenap jajaran pemerintahan Yudhoyono -- dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah -- mutlak dituntut memiliki keberanian bertindak. Tanpa keberanian, pemberantasan korupsi tak akan pernah dilakukan sungguh-sungguh -- bahkan menjadi sekadar sandiwara.

Tindakan ke arah pemberantasan korupsi itu sendiri, sesuai semangat Inpres No 5/2004, jelas tak bisa lagi berpijak pada semboyan alon-alon asal kelakon. Bagaimanapun, langkah ke arah itu dituntut dilakukan serba gesit dan tanpa pandang bulu -- meski tak harus berarti grasa-grusu dan sembrono.

Untuk itu, tiap instansi pemerintahan mesti membuat program aksi yang jelas, tajam-terarah, terukur, dan terutama konsisten serta konsekuen dilaksanakan. Jika tidak, langkah pemberantasan korupsi ini bisa-bisa lebih merupakan sekadar seremoni tanpa akhir.

Bagi instansi-instansi tertentu, terutama instansi penegak hukum, gerak cepat pemberatasan korupsi ini niscaya sudah bisa langsung dilakukan. Toh instansi seperti kejaksaan, kepolisian, atau pengadilan sudah menggenggam setumpuk kasus.

Tentu, dalam kaitan itu, kita berharap agar kasus-kasus kakap dan amat merugikan negara beroleh prioritas utama dengan tetap tak memberi toleransi terhadap korupsi kelas recehan. Tentu pula, kita memimpikan agar sanksi hukum terhadap mereka yang terbukti berbuat korupsi ini benar-benar maksimal dan cepat final hingga bisa segera dieksekusi.

Namun pemberantasan korupsi ini tak cukup hanya dilakukan pemerintah. Bagaimanapun, efektivitas gerakan tersebut menuntut partisipasi dan langkah proaktif pihak-pihak di luar lingkungan pemerintahan. Dunia usaha nasional, misalnya, sepatutnya bisa memanfaatkan momentum yang digulirkan Presiden Yudhoyono ini dengan menunjukkan sikap-tindak yang selaras dengan semangat pemberantasan korupsi. Dunia usaha jangan lagi bersikap mendua: di satu sisi mengecam habis korupsi, tapi di sisi lain tetap saja kasak-kusuk menabur suap kepada oknum birokrasi dan pejabat pemerintahan.***
Jakarta, 10 Desember 2004

Tidak ada komentar: