12 Maret 2005

Moratorium Utang

Pemerintah niscaya bernapas lega. Negara-negara kreditur yang tergabung dalam kelompok informal menyepakati memberikan penangguhan pembayaran alias moratorium utang bagi Indonesia dan Srilanka.

Fasilitas tersebut mereka berikan terkait dengan bencana alam dahsyat yang melanda kedua negara pada akhir tahun lalu, yakni bencana tsunami. Kita tahu, di negeri kita, bencana tersebut meluluhlantakkan Aceh dan Nias. Jadi, dengan memperoleh fasilitas moratorium utang, pemerintah bisa melakukan pembangunan kembali Aceh dan Nias tanpa harus terlampau banyak menguras APBN.

Sejak awal, tuntutan bagi pembangunan kembali Aceh dan Nias memang amat menyesakkan pemerintah. Ya, karena dana yang dibutuhkan untuk itu jelas amat besar. Padahal tanpa tuntutan itu pun, APBN sudah defisit. Jadi, jika APBN tetap dibebani kewajiban membayar utang kepada kalangan kreditur, pemerintah niscaya terseok-seok dalam membangun kembali Aceh dan Nias ini.

Memang, bantuan mengalir deras dari mana-mana. Dunia internasional, terutama, sudah komit memberikan bantuan bagi pembangunan kembali Aceh dan Nias ini. Tetapi betapa pun dana yang dibutuhkan untuk itu demikian besar. Melulu mengandalkan bantuan jelas tak bakal memadai -- juga tidak bijak, karena bisa memberi kesan bahwa pemerintah tidak memiliki kepedulian terhadap nasib Aceh dan Nias yang jadi korban bencana alam.

Jadi, dengan kata lain, pemerintah tetap dituntut mengucurkan dana khusus untuk pembangunan kembali Aceh dan Nias ini.

Sekarang, dengan memperoleh fasilitas moratorium, pemerintah tak harus pusing lagi mencari dana yang dibutuhkan untuk itu. Dana yang semula dialokasikan untuk membayar kewajiban utang kepada kalangan kreditur internasional bisa dialihkan bagi keperluan pembangunan kembali Aceh dan Nias.

Sejauh ini, belum jelas berapa nilai utang pemerintah yang memperoleh fasilitas moratorium ini. Berita yang beredar, kemarin, hanya menyebutkan bahwa forum Paris Club menyetujui moratorium bagi Indonesia dan Srilanka senilai 3,3 miliar dolar AS.

Namun, Menkeu Jusuf Anwar pernah menyebutkan bahwa untuk satu tahun saja, moratorium utang ini bisa menghemat APBN senilai 1,5 miliar sampai 2 miliar dolar AS.
Sementara Dirjen Dirjen Perbendaharaan Negara (Depkeu) Mulia Nasution menyebutkan bahwa jumlah utang yang diusulkan beroleh moratorium ke Paris Club ini bernilai sekitar Rp 23 triliun.

Boleh jadi, jumlah utang pemerintah yang disetujui Paris Club memperoleh fasilitas moratorium ini tak jauh dari kisaran angka-angka tadi. Itu terbilang signifikan -- dan karena itu, meminjam istilah Jusuf Anwar, bermakna sangat convenient bagi APBN.

Karena itu, pemerintah niscaya bernapas lega. Terlebih
fasilitas moratorium yang disetujui Paris Club ini persis sesuai dengan permintaan pemerintah: tanpa tambahan bunga, tanpa beban bunga berbunga, diberi masa tenggang, dan jatuh tempo 5 tahun.

Kenyataan itu mungkin mengejutkan. Paling tidak, karena sebelumnya pemerintah terkesan tidak yakin bahwa kalangan kreditur bisa bermurah hati dan akan begitu saja memberikan moratorium utang. Pemerintah sempat berkeyakinan bahwa fasilitas moratorium punya syarat-syarat tertentu yang niscaya memberatkan kita.

Justru itu, kalau saja tidak didesak berbagai kalangan, mungkin pemerintah tidak pernah mengajukan permintaan moratorium ini. Konsekuensinya, tentu, pemerintah sendiri yang niscaya megap-megap menghadapi tuntutan mendesak membangun kembali Aceh dan Nias.

Karena itu, ke depan, pemerintah perlu lebih memiliki sikap percaya diri dalam menghadapi masalah pelik seperti moratorium utang ini. Bersikap hati-hati memang perlu. Tapi itu jangan lantas melahirkan sikap-tindak kelewat rigid yang justru kontraproduktif.***
Jakarta, 12 Maret 2005

Tidak ada komentar: