14 Maret 2005

Drama Rapat Konsultasi

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah telanjur diputuskan. Pemerintah, tampaknya, sulit diharapkan tergerak mencabut atau membatalkan keputusan tersebut. Meski aksi demo penolakan berbagai elemen masyarakat merebak di mana-mana, pemerintah kemungkinan tetap akan kukuh pada keputusan itu.

Sangat boleh jadi, pemerintah memang sudah memperhitungkan berbagai reaksi yang bersifat menekan itu -- termasuk dari pihak parlemen yang terang-terangan merasa ditinggalkan dalam pengambilan keputusan tentang kenaikan harga BBM ini. Tapi bagi pemerintah, menaikkan harga BBM adalah keputusan terbaik untuk saat ini -- betapapun keputusan tersebut berat dan mahal.

Kita katakan berat dan mahal, karena keputusan menaikkan harga BBM sungguh punya implikasi serius pemerintah. Yaitu bahwa popularitas pemerintah di tengah masyarakat, khususnya pasangan Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, jadi turun drastis. Padahal popularitas itu pula yang telah mengantarkan pasangan tersebut tampil sebagai pemenang Pemilu Presiden secara meyakinkan.

Begitu juga dalam konteks hubungan eksekutif-legislatif, keputusan tentang kenaikan harga BBM ini tak pelak lagi kini menyerupai onak dalam daging. Keputusan tersebut telah menurunkan derajat keharmonisan hubungan pemerintah dan DPR. Dalam konteks ini, kalangan anggota DPR -- terutama mereka yang berasal dari fraksi-fraksi yang sejak awal konsisten mengambil jarak terhadap pemerintah -- seolah memperoleh amunisi tambahan untuk memberondong pemerintah hingga terdesak ke satu sudut tertentu.

Bagi kalangan anggota DPR, keputusan pemerintah menaikkan harga BBM ini sungguh merupakan sebuah "kelancangan" -- karena dilakukan tanpa persetujuan legislatif. Tak heran jika sejumlah anggota DPR pun tergerak mengajukan usul penggunaan hak angket kepada pimpinan DPR. Usulan tersebut bisa gol, bisa pula tidak. Itu tergantung perkembangan di DPR sendiri.

Yang pasti, hari ini pimpinan DPR beserta pimpinan fraksi-fraksi dan pimpinan komisi-komisi menggelar rapat konsultasi dengan Presiden dengan agenda tunggal soal keputusan pemerintah menaikkan harga BBM. Kalau menilik latar suasana di kalangan anggota DPR selama ini, rapat tersebut mungkin bisa merupakan sebuah drama yang berlangsung seru. Adu argumentasi antara kedua belah pihak mestinya terjadi.

Berkaitan dengan itu, kita ingin mengingatkan kedua belah pihak agar tidak berkukuh pada pendirian masing-masing. Bagaimanapun, pada akhirnya, sikap seperti itu bisa kontra produktif. Paling tidak, hubungan eksekutif dan legislatif bisa kian memburuk dengan segala implikasinya yang justru menelantarkan kepentingan rakyat.

Jadi, dalam rapat konsultasi itu, kedua belah pihak -- eksekutif dan legislatif -- dituntut menurunkan ego masing-masing. Kedua belah pihak tak perlu mengklaim dan menempatkan diri sebagai pihak paling benar.

Yang justru harus tampil adalah kesadaran bersama bahwa bagaimanapun kenaikan harga BBM telanjur diputuskan. Mereka perlu menyadari bahwa ibarat pesawat yang telanjur dalam posisi take off, keputusan itu amat berisiko jika sampai harus dicabut atau dibatalkan. Paling tidak, harga aneka barang dan jasa yang telanjur naik mengikuti kenaikan harga BBM tak bakal otomatis ikut turun kembali ke posisi semula. Kenyataan tersebut jelas amat potensial mengundang friksi-friksi di masyarakat.

Justru itu, yang amat penting sekarang adalah bagaimana pemerintah dan DPR bersama-sama merumuskan langkah menyelamatkan rakyat -- khususnya lapisan miskin -- dari berbagai risiko kenaikan harga BBM. Soal program kompensasi, misalnya, perlu dirumuskan lebih jelas dan benar-benar operasional agar bisa efektif mencapai sasaran. Berbagai deviasi yang mungkin terjadi di lapangan harus bisa diungkap dan dicarikan jalan keluarnya.***
Jakarta, 14 Maret 2005

Tidak ada komentar: