30 Januari 2014

Pemilu Miskin Sosialisasi

Tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan hanya menyelenggarakan pemilu berlangsung aman, jujur, adil, dan transparan. KPU juga harus bisa memastikan partisipasi rakyat dalam pemilu tinggi. Rakyat yang memiliki hak pilih harus bisa dibuat berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara dan menjatuhkan pilihan sesuai nurani masing-masing.

Partisipasi rakyat dalam pemilu mutlak harus tinggi karena soal itu menjadi ukuran keberhasilan penyelenggaraan pemilu. Tingkat partisipasi rakyat amat menentukan arah pengelolaan negara ke depan -- dan karena itu hasil pemilu harus legitimate, dalam arti diikuti sebanyak mungkin rakyat pemilih.

Tetapi sungguh menyedihkan bahwa menjelang pelaksanaan pemilu legislatif 2014 yang tinggal beberapa bulan sekarang ini, khalayak banyak yang tidak atau kurang tahu hal-ihwal perhelatan politik itu. Menurut hasil survei Founding Fathers House (FFH) yang dirilis di Jakarta, Rabu kemarin, banyak warga masyarakat yang tak mengetahui jadwal pencoblosan, nomor urut parpol peserta pemilu, dan tetek-bengek lain yang penting mengenai pesta demokrasi dalam rangka menyeleksi wakil-wakil rakyat itu.

Sebagai contoh, hasil survei itu menunjukkan bahwa hanya 16,26 persen responden yang tahu peserta pemilu legislatif 2014 adalah 12 parpol. Tidak mengherankan, pengetahuan publik mengenai nomor urut masing-masing parpol peserta pemilu pun amburadul. Padahal pengetahuan tersebut merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan penyelenggaraan pemilu -- dalam arti pemilu diikuti sebanyak mungkin pemilih, sekaligus menjadi penentu arah pengelolaan negara ke depan. 

Kenyataan seperti itu menyedihkan sekaligus mencemaskan -- karena menjadi petunjuk bahwa perhelatan pemilu belum tersosialisasi dengan baik. Khalayak luas relatif sedikit tersentuh program sosialisasi, sehingga seolah-olah perhelatan pemilu sekadar menjadi milik kalangan elite politik.

Itu jelas mengherankan karena KPU dibekali anggaran yang tidak sedikit. Dengan anggaran besar, seharusnya KPU melakukan sosialisasi pemilu secara masif dan intentif sejak jauh hari. Berbagai strategi dan media untuk itu bisa dipilih.

Jadi, kenapa perhelatan pemilu kurang tersosialisasi? Apakah itu pertanda bahwa energi KPU lebih banyak tersedot untuk urusan lain, semisal membenahi daftar pemilih yang memang amburadul?

Patut diakui, jajaran parpol peserta pemilu ikut andil dalam masalah itu. Mereka lebih banyak menghabiskan energi untuk persiapan dan kesiapan mereka memenangi pemilu. Mereka lupa bahwa mereka amat berkepentingan pemilu berlangsung sukses. Jadi, seharusnya mereka tak hanya sibuk bersiap dan mematut-matut diri, melainkan juga aktif ikut menyosialisasikan perhelatan pemilu kepada khalayak luas.

Karena itu, jika KPU dan jajaran parpol peserta pemilu tidak segera menggenjot habis-habisan sosialisasi pemilu di sisa waktu menjelang pelaksanaan pemungutan suara, tingkat partisipasi rakyat dalam pemilu legislatif 2014 sulit diharapkan bisa tinggi. Terlebih bila memperhitungkan fenomena "golput" yang kemungkinan tetap mewarnai perhelatan demokrasi itu.

Sejumlah elemen masyarakat boleh jadi enggan memanfaatkan hak pilih mereka -- dan karena itu disebut golput alias golongan putih -- lantaran bagi mereka pemilu kali ini pun lebih merupakan hura-hura politik. Di mata mereka, pemilu tidak menjanjikan nilai dan manfaat yang menjadi esensi demokrasi.

Karena itu, mumpung waktu masih cukup tersedia, KPU dan jajaran parpol tidak punya pilihan lain kecuali bahu-membahu menggalakkan sosialisasi pemilu. Tingkat partisipasi rakyat harus terjamin bisa tinggi dengan menanamkan pengetahuan tentang pelaksanaan pemilu, sekaligus mengikis keinginan elemen yang cenderung memilih menjadi golput.***

30 Januari  2014