14 Januari 2014

Problem Banjir di Jakarta

Banjir kembali membuat Jakarta tidak berdaya. Senin lalu, sekian lokasi permukiman warga terendam. Sekian titik jalan raya tergenang, sehingga lalu lintas pun tersumbat atau bahkan lumpuh. Sekian banyak orang dibuat sengsara. Banyak juga warga yang sampai terpaksa mengungsi.

Hari-hari ke depan ini sangat mungkin drama serupa terulang. Maklum, sekarang ini adalah puncak musim penghujan. Rekayasa cuaca yang disiasati pemerintah bukan jaminan bahwa banjir tak bakal merendam lagi Jakarta.

Karena itu, wajar jika sebagian kalangan menggugat kemimpinan Gubernur Joko Widodo (Jokowi). Mereka menilai, Jokowi terbukti tak lebih baik dibanding pemimpin-pemimpin Jakarta terdahulu: tidak becus menanggulangi problem banjir.

Gugatan seperti itu wajar, karena Jokowi pernah menjanjikan penanggulangan problem banjir. Tapi gugatan itu juga bersifat emosional karena tidak proporsional. Pertama, Jokowi baru memasuki tahun kedua dalam memimpin Jakarta ini. Kedua, problem banjir di Jakarta telanjur kompleks. Sedemikian kompleks problem tersebut, sehingga siapa pun yang memimpin Jakarta mustahil mampu menanganinya tanpa peran aktif pihak-pihak lain di luar Jakarta.

Dengan kondisi seperti itu, apa yang telah diperbuat Jokowi dalam rentang waktu belum lagi dua tahun untuk menanggulangi problem banjir di Jakarta jelas relatif tak berarti. Tindakan Jokowi, seperti mengeruk sungai serta menata kembali keberadaan danau dan waduk, masih kelewat kecil dibanding kompleksitas problem banjir yang menghantui Jakarta.

Problem banjir di Jakarta adalah produk kesalahan kebijakan dalam rentang waktu panjang. Selama sekian waktu, fisik Jakarta dibiarkan tumbuh dengan mengabaikan fungsi peresapan air hujan. Bangunan-bangunan beton dan lapisan aspal merambah ke mana-mana nyaris tanpa menyisakan permukaan tanah untuk peresapan air.

Di sisi lain, fungsi penampungan air lewat keberadaan situ, danau, ataupun waduk juga diabaikan. Bukan cuma tidak dipelihara, situ, danau, ataupun waduk ini juga seolah dibiarkan mendangkal -- sampai-sampai sebagian hilang lenyap diokupasi permukiman liar.

Nasib sungai-sungai yang melintasi Jakarta juga kurang lebih sama: menyempit dan dangkal. Di musim penghujan, sungai-sungai sama sekali tidak mampu menampung luapan air dari hulu.

Wilayah hulu juga ikut bersalah atas problem banjir yang memukul Jakarta saban musim hujan ini. Keseimbangan lingkungan di wilayah hulu Jakarta -- Depok, Bogor, Cianjur -- telanjur amburadul. Selama ini, lingkungan wilayah hulu Jakarta jor-joran diacak-acak pembangunan fisik -- terutama untuk memenuhi kepentingan permukiman dan kepariwisataan.

Keprihatinan tentang itu bukan tidak tertoreh. Tetapi kemauan politik untuk mengendalikan lingkungan wilayah hulu Jakarta ini selalu kalah oleh ego pemda-pemda terkait untuk menangguk manfaat ekonomi kepariwisataan.

Karena itu, adalah naif sekaligus musykil memimpikan problem banjir di Jakarta bisa ditangani melulu oleh Pemprov DKI Jakarta. Tanpa melibatkan peran aktif pemda-pemda di wilayah hulu, sampai kapan pun problem banjir mustahil bisa ditanggulangi. Langkah apa pun yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sulit diharapkan efektif mengatasi problem itu.

Untuk itu, keterlibatan pemerintah pusat amat dibutuhkan. Becermin pada kenyataan selama ini, pemerintah pusat patut tampil sebagai komandan pengendalian dan penataan lingkungan -- terutama di sepanjang DAS Ciliwung. Jika tidak, pengendalian dan penataan lingkungan itu cenderung sekadar menjadi wacana. Kalaupun langkah aksi dilakukan, itu sama sekali tak terjamin berkesinambungan dan terpadu.***

14 Januari 2014