20 Januari 2014

Rembugan Soal Banjir

Sebagai wujud keinginan baik, rembugan soal upaya penanganan masalah banjir, yang selama ini menjadi langganan Jakarta, layak diapresiasi. Terlebih rembugan itu menghasilkan sejumlah langkah yang cukup menjanjikan bisa menekan potensi banjir di Jakarta.

Solusi itu, antara lain, pembangunan bendungan di Ciawi, pembuatan sodetan Sungai Ciliwung-Cisadane, revitalisasi situ-situ, normalisasi Sungai Ciliwung, reboisasi di daerah aliran Sungai Ciliwung, penataan sempadan dan lahan ruang terbuka hijau, juga penertiban bantaran sungai. Kesepakatan tentang itu semua bersifat ambisius karena pekerjaan-pekerjaan ditargetkan selesai antara tahun 2016 hingga tahun 2018.

Rembugan itu sendiri diikuti Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi), Gubernur Jabar Ahmad Heryawan, Bupati Bogor Rachmat Yasin, serta perwakilan Kota Bekasi dan Kota Depok. Pemkab Banten, Pemkab Tangerang, dan Pemkab Tangsel tidak hadir. Di pihak pemerintah pusat, pejabat yang mewakili adalah Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Mohamad Hasan.

Kenapa rembugan itu baru digelar sekarang? Kenapa tidak dari dulu-dulu? Toh bencana banjir praktis saban tahun melanda Jakarta. Jadi, Jokowi selaku pihak yang paling berkepentingan, misalnya, kenapa tidak sejak awal memimpin Jakarta mengambil inisiatif menggelar rembugan dengan pihak-pihak pengambil keputusan di kawasan daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung ini?

Oleh sebab itu jangan salahkan jika muncul penilaian sinis di tengah masyarakat bahwa rembugan itu lebih merupakan upaya pihak-pihak terkait menyelamatkan muka mereka di depan publik. Mereka dipandang sekadar ingin memberi kesan bahwa mereka punya keinginan baik untuk mengendalikan masalah banjir yang tiap tahun menerjang Jakarta.

Jadi, bagi sebagian kalangan, rembugan tentang penanggulangan masalah banjir Jakarta ini tak lebih merupakan persamuhan para pahlawan kesiangan. Penilaian seperti itu amat beralasan di tengah kegusaran publik, khususnya warga Jakarta, oleh masalah banjir yang selama ini menjadi kado spesial saban musim penghujan.

Publik gusar, karena masalah banjir di Jakarta tak kunjung bisa ditanggulangi secara komprehensif dan mendasar. Publik juga geram, karena masalah itu  selama ini seolah-oleh melulu problem Jakarta alias seperti sama sekali tak bertali-temali dengan problem kronis ekologis di wilayah hulu.

Karena itu, menjadi tantangan serius bagi pihak-pihak yang ambil bagian dalam rembugan tadi untuk membuktikan bahwa persamuhan itu sama sekali bukan sekadar ajang bagi mereka untuk meraup simpati publik. Untuk itu, berbagai program yang disepakati bersama dalam rembugan itu jangan cuma menjadi sekadar angin surga.

Dengan kata lain, semua pihak -- terutama warga Jakarta -- sangat berharap berbagai program itu benar-benar bisa diwujudkan di lapangan sesuai target waktu yang disepakati, meski ganjalan untuk itu juga kelihatannya bisa serius. Ganjalan itu terutama berupa ego masing-masing pihak terkait kepentingan wilayah masing-masing.

Ganjalan itu  bahkan sudah tergambar. Pemkab Tangerang, misalnya, dikabarkan sengaja tidak memenuhi undangan rembugan lantaran mereka tidak setuju program pembuatan sodetan sungai. Mereka tidak setuju, karena pembuatan sodetan sungai kelak bisa berdampak banjir ke wilayah mereka.

Jadi, publik jangan dibuat lebih kecewa lagi. Warga Jakarta, terutama, sudah hampir habis harapan bahwa mereka tak bakal lagi menjadi korban banjir di setiap musim penghujan. Untuk itu, berbagai ganjalan -- terutama ego kepentingan masing-masing pihak -- harus bisa disingkirkan sehingga program penanggulangan masalah banjir Jakarta bukan angin surga.***


20 Januari 2014