13 Januari 2014

Larangan Ekspor Minerba

Setelah sempat kental diwarnai keraguan, pemerintah akhirnya memastikan pelarangan ekspor bahan mineral mentah sesuai amanat UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) efektif berlaku mulai 12 Januari 2014. Kepastian tersebut ditandai oleh penerbitan Peraturan Pemerintah No 1/2014 yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin malam lalu. Peraturan yang menjadi tindak-lanjut UU No 4/2009 itu segera diikuti oleh penerbitan peraturan di tingkat kementerian terkait.

Langkah itu sungguh berani sekaligus pahit, karena nyata-nyata mempertaruhkan kepentingan ekonomi nasional. Pelarangan ekspor bahan mineral mentah -- emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga, dan batu bara -- hampir pasti melahirkan konsekuensi serius terhadap kehidupan ekonomi di dalam negeri. Paling tidak hingga beberapa tahun ke depan seiring kesanggupan perusahaan-perusahaan tambang di dalam negeri memenuhi ketentuan UU No 4/2009.

Menurut hitungan kasar, pelarangan ekspor bahan mineral mentah itu membuat negara kehilangan potensi penerimaan devisa sekitar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 55 triliun per tahun. Belum lagi penerimaan pajak, royalti, dan bea keluar dari sektor pertambangan minerba juga hampir pasti anjlok. Dalam kaitan itu pula, defisit neraca perdagangan bisa semakin menjadi-jadi. 

Di sisi ketenagakerjaan, pelarangan ekspor bahan mineral mentah ini juga berisiko melahirkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala masif. Itu bisa terjadi, karena banyak -- untuk tidak mengatakan semua -- perusahaan tambang minerba kemungkinan kesulitan untuk sekadar bisa survive sekali pun. Mereka sulit melanjutkan kegiatan usaha karena telanjur tidak memiliki  pabrik pengolahan dan pemurnian bijih mineral (smelter) yang dipersyaratkan UU No 4/2009.

Berbagai konsekuensi itu pula yang membuat pemerintah sempat begitu kental terkesankan ragu dan galau untuk memberlakukan UU Minerba ini. Sampai-sampai sempat beredar spekulasi bahwa pemerintah akan menunda implementasi undang-undang itu sampai berbagai perusahaan tambang minerba di dalam negeri benar-benar siap -- terutama memiliki kelengkapan produksi berupa smelter.

Namun pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali konsekuen menerapkan UU Minerba sesuai tenggat yang telah ditentukan, yaitu 12 Januari 2014. Menunda implementasi undang-undang tersebut hanya menorehkan penilaian bahwa pemerintah tidak tegas atau bahkan tunduk terhadap tekanan perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki usaha tambang mineral di dalam negeri.

Di sisi lain, penundaan implementasi UU No 4/2009 juga hanya akan membuat sumber daya mineral terkuras lebih lama dan lebih banyak lagi tanpa memberikan nilai tambah. Karena semua hasil tambang mineral diekspor dalam wujud mentah, penundaan itu juga membuat kegiatan usaha tambang minerba tetap tak memberikan efek berantai terhadap ekonomi nasional. 

Sebenarnya penerapan UU No 4/2009 ini tidak harus menjadi pil pahit bagi ekonomi nasional kalau saja pemerintah tidak abai. Pemerintah memiliki waktu sekitar empat tahun sejak undang-undang itu diundangkan untuk melakukan sosialisasi bagi berbagai perusahaan tambang mineral melakukan perisiapan-persiapan teknis, terutama membangun smelter.

Tetapi rentang waktu empat tahun itu -- notebene sangat memadai -- disia-siakan begitu saja. Pemerintah absen dalam mendorong perusahaan-perusahaan tambang minerba melakukan persiapan. Pihak terakhir sendiri terkesankan pura-pura lupa, sehingga sejauh ini konon tak satu pun yang sudah membangun smelter.  

Kini, setelah UU No 4/2009 efektif berlaku mulai 12 Januari 2014 pemerintah perlu mencari solusi yang tepat untuk mengamankan ekonomi nasional dari konsekuensi pelarangan ekpor minerba. Solusi tersebut juga harus bersifat mendorong berbagai perusahaan tambang minerba membangun smelter dengan memberi kemudahan tertentu. Mungkin, untuk tahap awal, ekspor minerba tidak harus seratus persen hasil olahan. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan tambang minerba bisa tetep bernapas sambil membangun smelter.

13 Januari
2014