09 Januari 2014

Mulia dan Ambisius

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai 1 Januari lalu adalah program mulia sekaligus ambisius. Mulia, karena program tersebut merupakan wujud keinginan baik pemerintah memastikan rakyat tak kesulitan memperoleh layanan kesehatan. Pemerintah tak menghendaki terjadi lagi kasus-kasus memilukan seperti di masa lalu: rakyat miskin, terutama, terlunta-lunta atau bahkan mati sia-sia didera sakit akibat tak mampu mengakses jasa perawatan kesehatan.

Kini, lewat program JKN, pemerintah menjamin layanan kesehatan bagi sekian banyak rakyat di berbagai lapisan dan golongan. Untuk tahap awal sekarang saja, program tersebut mencakup 140 juta jiwa penduduk. Jaminan itu terus ditingkatkan sehingga kelak makin banyak lagi rakyat yang tercakup program JKN ini. Tahun 2018, misalnya, peserta program tersebut ditargetkan sudah mencakup 190 juta jiwa penduduk.

Karena itu, program JKN bersifat ambisius. Bagaimanapun, menjamin kesehatan bagi sekian banyak rakyat sekaligus jelas pekerjaan raksasa. Kesiapan di berbagai segi, termasuk soal pendanaan, menjadi tuntutan mutlak. Jika tidak, bisa-bisa program tersebut menimbulkan kekisruhan di tingkat pelaksanaan -- terutama di lapangan --, sehingga tujuan mulia pmerintah menyejahterakan rakyat gagal bisa dicapai. Bahkan, karena harus menyediakan subsidi bagi rakyat miskin, pemerintah pun bukan tidak mungkin kewalahan dalam melaksanakan program JKN ini -- terutama ketika semakin banyak lagi rakyat yang tercakup program tersebut.

Oleh sebab itu pula, patut diakui, pemerintah kelewat berani dalam mewujudkan keinginan mulia menjamin kesehatan bagi rakyat ini. Keberanian tersebut kian gamblang kalau becermin ke negara maju seperti AS sekalipun. Negara yang secara ekonomi memiliki kemampuan jauh di atas kita itu tak sanggup memberikan jaminan kesehatan bagi rakyatnya. Dalam konteks ini, program Obamacare yang digagas Presiden Barrack Obama pun mendapat tentangan hebat pihak Kongres. Mereka menentang, karena program itu mereka nilai tidak feasible secara ekonomi.

Di kita, secara politis program jaminan kesehatan bagi rakyat ini aman-aman saja. Paling tidak, itu tecermin dari dapat diundangkannya UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Undang-undang tersebut melengkapi UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Artinya, wakil-wakil rakyat di Senayan memberi restu terhadap keinginan baik pemerintah memberi jaminan kesehatan bagi rakyat ini. Justru itu, parlemen bisa diharapkan tidak pelit memberi dukungan dalam soal anggaran bagi penyelanggaraan program tersebut.

Walhasil, keberhasilan program itu pun lebih terletak pada kesanggupan pemerintah sendiri mengorganisasikan kesiapan-kesiapan teknis. Nah, patut diakui, soal ini menimbulkan kecemasan. Selain miskin sosialisasi, peraturan pendukung bagi pelaksanaan program JPN juga masih compang-camping. Tidak mengherankan, terutama di lapangan, hal-hal yang tidak perlu -- tetapi merugikan peserta program JKN  -- pun bermunculan.

Tentang itu, misalnya, kalangan rumah sakit direpotkan oleh syarat penyelenggaraan program JKN yang sangat berbelit. Itu membuat banyak rumah sakit belum bisa membuka layanan program JKS, sementara animo dan antusiasme rakyat tentang layanan itu telanjur membuncah -- lengkap dengan berbagai bentuk kekurangpahaman dan misinformasi yang merepotkan.

Di sisi lain, layanan di rumah sakit juga memakan waktu lama karena data pasien belum diverifikasi BPJS. Belum lagi rumah sakit juga acap harus bersitegang dengan pasien akibat kelemahan sosialisasi. Misalnya soal penyakit atau obat-obat tertentu yang tak tercakup program JKN.

Berbagai kelemahan seperti itu harus segera dibenahi. Sebagai program mulia, JKN tak boleh mengecewakan rakyat sekaligus jangan sampai merepotkan pihak penyelenggara di lapangan.***

9 Januari 2014